Metafora lebih dari sekadar perangkat bahasa yang bersifat ornamental. Ia adalah kerangka kerja yang tak terlihat yang melaluinya kita mulai memahami dunia kita. Sejak kita mulai berbicara, metafora diam-diam membentuk cara kita berpikir, merasa, dan bertindak. Metafora tidak hanya menghiasi ucapan, melainkan utamanya menyusun pikiran. Seperti yang telah ditunjukkan oleh linguistik kognitif, seluruh sistem konseptual kita bersifat metaforis. Hal ini memiliki konsekuensi yang lumayan, terutama dalam hal memahami fenomena yang kompleks atau abstrak seperti sains, masyarakat, dan politik.
Metafora
bukan sekadar alat kognisi individu, melainkan tertanam dalam budaya pula. Dengan
kata lain, metafora adalah interaksi dua model budaya: domain sumber dan domain
target (Kövecses 2006 dalam Penz 2017, 282). Model-model ini mencerminkan
pemahaman bersama dalam suatu masyarakat. Ketika kita mengatakan “waktu adalah
uang”, kita mengacu pada domain transaksi ekonomi untuk membentuk cara kita
memahami waktu sebagai sumber daya yang harus disimpan, dihabiskan, atau
disia-siakan.
Metafora tersebut
tidak muncul dalam ruang hampa. Ia adalah produk dari pandangan dunia
kapitalis, di mana waktu menjadi unit produktivitas. Dalam budaya lain, waktu
mungkin dipandang sebagai siklus atau hadiah, bukan komoditas. Dalam budaya
lain, waktu bisa dipahami secara siklikal atau spiritual, bukan ekonomis. Ini
menunjukkan bahwa metafora bersifat kultural, dan cara masyarakat memahami
konsep abstrak seperti “hidup”, “kematian”, atau “kebaikan” sangat dipengaruhi
oleh sistem nilai manusia.
Metafora
ini dapat menjadi begitu mengakar dalam suatu budaya sehingga memengaruhi
perilaku, kebijakan, dan bahkan lembaga. Metafora berpindah dari sekadar bahasa
ke praktik budaya yang konkret. Dalam politik, metafora adalah instrumen
persuasi dan kontrol yang kuat. Politisi sering kali terlibat dalam “pembingkaian
ulang berbasis metafora” untuk menyajikan isu-isu dengan cara yang selaras
dengan ideologi mereka. Misalnya, membingkai kesejahteraan sosial sebagai “jaring
pengaman” menyiratkan belas kasih dan dukungan.
Lebih lanjut,
metafora bisa menjadi kerangka berpikir dominan dalam budaya dan membentuk
tindakan sosial dan politik. Bahkan, dalam politik, metafora sering digunakan
untuk “reframing”, mengubah cara suatu isu dipahami. “Perang melawan
kemiskinan”, misalnya, menggambarkan kebijakan sosial sebagai bentuk
pertempuran, yang membentuk imajinasi publik tentang musuh, strategi, dan
kemenangan. “Negara adalah rumah tangga” menjadi metaforan untuk membenarkan
penghematan anggaran layaknya pengaturan keuangan rumah tangga, padahal logika
ekonomi negara sangat berbeda.
Implikasi
etis dan epistemologis dari metafora sangat besar. Metafora yang kita pilih
lebih dari sekadar menyederhanakan, sebab metafora memandu persepsi, menyoroti
beberapa kebenaran, dan menyembunyikan yang lain. Metafora membingkai,
menetapkan peran, dan sering kali mendikte siapa yang disalahkan atau dipuji.
Dalam ranah perubahan iklim, misalnya, menggambarkan Bumi sebagai “pasien yang
sakit” membangkitkan kebutuhan untuk penyembuhan. Setiap metafora memobilisasi
respons emosional dan politik yang berbeda.
Memahami
sifat metaforis dari pemikiran mengundang kita untuk menjadi lebih sadar akan pebingkaian
(framing) yang di dalamnya pikiran kita menghuni. Metafora jelas tidaklah
netral, sebab ia senantiasa memengaruhi apa yang kita anggap masuk akal, benar,
atau layak didukung.
0 Komentar