Dalam dunia yang dirajut oleh siaran dan layar, sejarah bukan lagi sekadar barisan tahun dan tokoh, melainkan medan pertarungan makna. Indonesia, dengan sejarah panjang penjajahan, revolusi, dan reformasi, adalah contoh bagaimana media menjadi arena utama bagi politik memori: perebutan kuasa atas apa yang layak diingat, dan yang sengaja dibuat terlupakan.
![]() |
sumber: whiteboard journal |
Setiap bangsa, sebagaimana dikatakan Benedict Anderson, adalah komunitas yang diimajinasikan. Imajinasi ini dibentuk bukan oleh fakta sejarah yang beku, melainkan oleh narasi yang terus-menerus diolah dan ditayangkan kembali melalui buku teks, dokumenter, sinetron, cuitan, dan konten YouTube. Dalam masyarakat mediatik, memori kolektif bukan hanya warisan, tetapi juga hasil konstruksi terus-menerus. Yang lebih penting: ia adalah hasil seleksi.
Di
Indonesia, politik memori tampak nyata dalam relasi antara negara, media, dan
masyarakat. Kita tahu bagaimana Orde Baru selama tiga dasawarsa mengonsolidasikan
satu narasi sejarah: G30S adalah makar PKI, dan militer adalah penyelamat
bangsa. Film Pengkhianatan G30S/PKI (1984) bukan sekadar tontonan
tahunan di bulan September, tetapi ritus kenegaraan yang mematri trauma dan
pembenaran kekuasaan melalui estetika kekerasan dan skema moral hitam-putih.
Dalam hal ini, media bukan sekadar medium, tetapi “aparatus ideologis negara”,
yang membentuk kesadaran kolektif tentang siapa korban dan siapa penjahat.
Namun, era
Reformasi membuka retakan dalam monolit sejarah. Internet, media sosial, dan
jurnalisme alternatif menjadi kanal tandingan. Muncul dokumenter seperti The
Act of Killing yang membongkar lapisan-lapisan kebisuan dan menyangkal
narasi tunggal negara. Seiring itu, generasi muda mulai menggugat: Mengapa
sejarah begitu selektif? Mengapa suara para penyintas dilenyapkan dari buku
pelajaran?
Politik
memori di sini tidak lagi hanya terjadi di gedung negara atau ruang redaksi,
tetapi di linimasa Twitter, kanal YouTube, forum komunitas film, bahkan dalam
praktik digital seperti remix dan memes. Memori menjadi
terfragmentasi, tidak stabil, dan lentur. Dalam pengertian ini, media digital
memperluas demokratisasi narasi sejarah, tetapi sekaligus menghadirkan
tantangan baru: infodemi, distorsi, dan relativisme.
Paul
Ricoeur pernah mengingatkan bahwa ingatan tidak pernah netral. Setiap ingatan
mengandaikan sudut pandang, dan karena itu, rentan terhadap manipulasi. Dalam
konteks Indonesia, kita bisa bertanya: sejarah siapa yang dipertahankan di
museum nasional? Ingatan siapa yang dibekukan dalam nama-nama jalan? Apa yang
diabadikan, dan apa yang disingkirkan? Media memainkan peran penting dalam
menjawab (dan mengaburkan) pertanyaan-pertanyaan ini.
Kini,
ketika kita melihat tren glorifikasi Orde Baru di kalangan anak muda—bukan
lewat teks akademik, tetapi melalui estetika Instagram, meme nostalgia, dan
TikTok bernuansa “kedisiplinan zaman dulu”—kita dihadapkan pada ironi: memori
masa lalu dikomodifikasi sebagai gaya hidup. Sejarah menjadi bahan konsumsi
visual, bukan refleksi kritis. Inilah saat di mana media membentuk simulacra
sejarah, seperti dijelaskan Baudrillard: tiruan yang lebih hidup dari aslinya,
namun kehilangan rujukan terhadap kenyataan yang sebenarnya. Di tengah
kontestasi ini, pertanyaannya bukan lagi sekadar bagaimana sejarah diceritakan,
melainkan bagaimana ia dihidupi. Politik memori bukan hanya soal narasi,
tetapi tentang kebertubuhan kolektif kita sebagai bangsa: apa yang membuat kita
berkabung bersama, dan untuk siapa kita tidak pernah sempat menangis?
Tugas kita
bukan untuk mencari kebenaran tunggal, tetapi untuk menjaga pluralitas ingatan.
Media dapat menjadi alat pembebasan jika didekati secara kritis dan etis. Maka,
peran para jurnalis, pembuat film, pendidik, dan warganet reflektif menjadi
penting: bukan sekadar menyebarkan informasi, tetapi merawat ingatan yang adil,
yang memberi ruang bagi yang terpinggirkan, yang tidak berbicara dalam bahasa
kekuasaan, tetapi menyimpan luka yang perlu disimak.
Sejarah
Indonesia, dengan segala keberpihakan dan kebisuannya, masih terus ditulis. Dan
media, sebagai cermin yang selalu bergerak, akan terus memantulkan dan
memelintir ingatan kita. Di situlah perjuangan berlangsung, antara yang ingin
mengingat, dan yang ingin melupakan.
0 Komentar