Pencerahan (Aufklärung) pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas menandai dimulainya modernitas, dengan obor yang dipegang teguh oleh akal budi, sains, dan pencarian kebenaran sekuler. Pencerahan mengklaim untuk membebaskan manusia dari labirin agama yang gelap dan takhayul dengan menggantinya dengan geometri penyelidikan rasional yang jelas.
Dalam proyek ini muncul perpecahan konseptual yang kuat:
agama dan seni, yang dulunya saling terkait, kini harus dilihat sebagai bidang
yang terpisah. Agama, yang semakin terdegradasi ke ranah pribadi atau
irasional, dibingkai sebagai doktrinal, otoriter, dan terbelakang, sementara
seni dibebaskan sebagai sesuatu yang otonom, subjektif, dan sekuler.
Pemisahan dan perpecahan ini bukan hanya konstruksi modern, tetapi
juga sangat menyesatkan. Pemisahan antara agama dan seni bukanlah ontologis,
melainkan politis dan filosofis. Sebenarnya, agama dan seni tidak dapat
dipisahkan: seni adalah cara beragama, dan agama adalah cara estetis untuk
berada di dunia.
Untuk memahami konstruksi modern dari pemisahan agama-seni,
kita harus mulai dengan ambisi Pencerahan untuk mengategorisasikan dan
merasionalisasi semua aspek kehidupan. Pemikir seperti Kant, Voltaire, dan
Diderot tidak hanya mempromosikan sekularisme sebagai netralitas, tetapi mereka
menciptakan jenis taksonomi metafisik baru.
Agama ditugaskan untuk yang tidak rasional, mistis, dan
regresif secara sosial. Sementara itu, seni dibingkai ulang sebagai “pengalaman
estetis”: pribadi, emosional, dan pada akhirnya tidak berbahaya. Sekularisasi
seni ini merampas asal-usul kultus dan fungsi spiritualnya, mengubahnya menjadi
komoditas museum, galeri, dan selera borjuis.
Namun, sejarah menceritakan kisah lain. Seni dan agama tidak
pernah terpisah. Karya seni paling awal yang dikenal, seperti lukisan gua di
Lascaux, patung-patung Venus, benda-benda ritual, sangat tertanam dalam
kosmologi religius pembuatnya. Ini bukanlah benda-benda “dekoratif”, melainkan
jimat, persembahan, mediator antara alam manusia dan alam ilahi.
Orang Yunani kuno memahat dewa-dewa dari marmer, sementara
katedral abad pertengahan mengubah teologi menjadi batu dan kaca patri. Bahkan
dalam tradisi-tradisi yang membatasi atau melarang figuratif, seperti kaligrafi
Islam atau mandala Buddha, bentuk artistik memiliki fungsi sakral. Seni, dalam
konteks ini, bukanlah ornamen bagi agama, melainkan ia adalah agama yang diejawantahkan.
Penegasan modern bahwa seni dapat bersifat sekuler itu
sendiri merupakan semacam keyakinan. “Museum” adalah kuil baru; “seniman”
adalah nabi baru. Kita berbicara tentang “transendensi” dalam bidang warna
Rothko, tentang "misteri" dalam bidikan panjang Tarkovsky, tentang “pengabdian”
dalam sapuan kuas Van Gogh. Ini bukan sekadar metafora, tetapi adalah residu
linguistik dari logika sakral yang lebih tua yang tidak akan pernah dapat
sepenuhnya ditinggalkan oleh seni.
Seni tidak hanya memberikan kesenangan, tetapi juga wahyu.
Seni menyingkapkan hal yang tak terlukiskan, memberi bentuk pada hal yang tak
kasat mata, dan menawarkan bukan pengetahuan, tetapi pengalaman kepada para
penonton. Dalam pengertian ini, seni tidak hanya seperti agama: seni adalah
agama.
Pertimbangkan apa yang dilakukan agama: seni menciptakan
ritual, simbol, dan narasi yang memberikan orientasi eksistensial. Seni
menawarkan visi kosmos dan tempat diri di dalamnya. Begitu pula seni. Lukisan,
puisi, film, tarian, semua ini bukanlah produksi yang netral.
Semuanya adalah mesin makna, perangkat mitopoetik yang membentuk perasaan, pikiran, dan keyakinan kita. Seni mengatur kekacauan menjadi pola, emosi menjadi gerakan. Seperti agama, seni tidak puas hanya dengan menggambarkan dunia; seni bertujuan untuk mengubahnya, menjadikannya sakral melalui perhatian dan interpretasi.
Lebih jauh, seni dan agama memiliki tata bahasa yang sama:
misteri, kekaguman, pengulangan, ritual, pengorbanan, keheningan. Ikon dan
patung tidak jauh berbeda dari instalasi dan pertunjukan. Apa perbedaan antara
prosesi orang suci dan Marina Abramović yang menatap ke dalam jiwa? Antara
nyanyian Gregorian dan opera Philip Glass? Bentuknya berubah, konteksnya
berevolusi, tetapi dorongan manusia—menuju transendensi, komunitas, dan yang
sakral—tetap konstan.
Proyek sekuler modern berupaya menjinakkan seni, membuatnya
aman, dapat dikonsumsi, terlepas dari api iman yang berbahaya. Namun, seni
menolak untuk dikurung. Bahkan seniman yang paling “ateis” pun sering kali
menghasilkan karya yang berfungsi secara religius. James Turrell membangun
kuil-kuil cahaya; John Cage menggubah keheningan yang berbatasan dengan
meditasi Zen. Ateisme, dalam bentuk estetikanya, sering kali mereproduksi
struktur yang diklaimnya untuk dinegasikan.
Pada akhirnya, pemisahan agama dan seni oleh Pencerahan
bukanlah sebuah penemuan, melainkan amputasi bedah. Ia lupa bahwa keduanya
muncul dari sumber yang sama: rasa lapar manusia akan makna, transendensi, dan
persekutuan. Memulihkan kesatuan mereka bukanlah untuk membatalkan sekularisme,
tetapi untuk mengenali batas-batasnya.
Kita tidak perlu percaya kepada Tuhan untuk percaya pada
yang sakral. Dan hal yang sakral tampak paling jelas dalam gestur seni, dalam
sapuan kuas, lirik, liturgi gerakan dan suara. Seni bukanlah alternatif sekuler
bagi agama. Seni adalah agama dalam arti yang lain. Dan agama, yang dilucuti
dari dogma dan kekejamannya, adalah seni yang pertama. Reuni mereka tidak hanya
mungkin, melainkan tidak dapat dihindari. Mereka tidak pernah benar-benar
terpisah.
0 Komentar