Gagasan mengenai hak asasi manusia (HAM) sebagai prinsip universal telah lama menjadi medan perdebatan di Asia, terutama ketika berhadapan dengan narasi kultural dan politik yang mengklaim kekhasan nilai-nilai Asia. Di satu sisi, HAM dipandang sebagai hak kodrati yang melekat pada manusia sebagai makhluk yang bebas dan rasional. Di sisi lain, muncul argumen bahwa nilai-nilai tersebut bersifat kontekstual dan tak bisa dipaksakan begitu saja dalam kerangka budaya non-Barat. Ketegangan ini bukan sekadar akademik, melainkan berdampak langsung pada bagaimana negara-negara Asia menjalankan kekuasaan, mengelola keragaman, dan menghadapi tuntutan keadilan.
Pertarungan
antara klaim universalitas dan pengecualian kultural sering kali memunculkan
pembenaran politik atas pelanggaran HAM. Dalam berbagai pernyataan, sejumlah
rezim di Asia menyatakan bahwa hak sipil dan politik seperti kebebasan
berpendapat, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berekspresi tidak cocok dengan
tatanan sosial dan nilai kolektif yang mereka anut. Namun, di balik retorika
itu, terbentang logika kekuasaan yang enggan dikontrol, yang menempatkan
stabilitas dan harmoni sebagai tameng untuk menekan oposisi dan menghindari
akuntabilitas.
Secara
filosofis, klaim bahwa HAM bersifat universal tidak bertumpu pada asal-usul
geokulturalnya, tetapi pada pengakuan terhadap pengalaman eksistensial manusia
yang serupa di mana pun. Penderitaan akibat penyiksaan, penindasan, dan
penghilangan kebebasan adalah sesuatu yang dirasakan secara serupa oleh semua
manusia, terlepas dari latar budaya dan bahasa. Hak-hak dasar bukanlah “gaya
hidup Barat”, melainkan tuntutan etik dari kenyataan bahwa manusia adalah
makhluk yang mampu berpikir, memilih, dan menderita.
Namun
demikian, pendekatan yang terlalu kaku terhadap universalisme juga bisa
bersifat menindas jika tidak peka terhadap konteks lokal. Alih-alih
memperdebatkan apakah HAM kompatibel dengan nilai-nilai Asia, pertanyaan yang
lebih relevan adalah bagaimana prinsip-prinsip HAM dapat diartikulasikan secara
kontekstual, tanpa kehilangan esensinya. Sejarah membuktikan bahwa masyarakat
Asia pun memiliki tradisi panjang dalam memperjuangkan keadilan, kebebasan, dan
hak-hak dasar meskipun ekspresinya berbeda dari formulasi Barat.
Di sinilah
pentingnya memikirkan HAM bukan sebagai doktrin dogmatis, melainkan sebagai
proyek etis yang terbuka terhadap terjemahan dan artikulasi ulang. Seperti
halnya Eropa yang membangun sistem perlindungan HAM pasca tragedi Perang Dunia,
Asia pun dapat membentuk kerangka kelembagaan yang berpijak pada nilai-nilai
dan pengalaman historisnya sendiri. Tidak untuk menolak universalitas HAM,
tetapi justru untuk memperkuatnya dengan dasar etis yang lebih dalam dan lebih
kontekstual.
Realitas
ini menjadi sangat nyata ketika kita menengok kasus-kasus konkret di Asia
Tenggara, seperti pembunuhan terhadap para aktivis HAM yang memperjuangkan
keadilan bagi kaum pekerja dan korban kekerasan negara. Dalam beberapa dekade
terakhir, terdapat kasus-kasus yang menunjukkan bahwa upaya untuk membela HAM
sering kali dibayar mahal. Seorang buruh perempuan yang bersuara atas
eksploitasi di tempat kerjanya dibungkam dengan kekerasan. Bertahun-tahun
kemudian, seorang aktivis yang kritis terhadap pelanggaran HAM oleh negara juga
dibungkam melalui pembunuhan terencana. Dua tragedi ini menjadi penanda dua era
politik yang berbeda: satu di bawah otoritarianisme militeristik, dan satu lagi
di era reformasi yang secara formal menganut demokrasi dan hukum.
Namun,
meskipun secara institusional telah terjadi banyak perubahan—termasuk
pembentukan lembaga-lembaga HAM nasional dan adopsi berbagai perjanjian
internasional—praktik kekuasaan masih sering melanggar prinsip-prinsip dasar
HAM. Keadilan bagi para korban kerap tertunda atau bahkan diredam, dan
impunitas masih menjadi realitas yang menantang. Hal ini menunjukkan bahwa
perubahan struktural belum sepenuhnya meresap ke dalam budaya politik dan
mentalitas birokrasi negara.
Yang lebih
mendasar dari semua ini adalah kenyataan bahwa HAM bukanlah sekadar produk
hukum atau politik, melainkan laku hidup. HAM hanya bisa hidup jika
dipraktikkan, jika dijalani oleh warganya, dan jika diperjuangkan oleh mereka
yang percaya bahwa setiap manusia berhak hidup bermartabat. Di tengah tantangan
global seperti politik keamanan, fundamentalisme, dan otoritarianisme baru,
komitmen terhadap HAM justru harus semakin ditegaskan. Sebab HAM bukanlah hak
istimewa dari dunia yang mapan, tetapi hak setiap manusia untuk menolak dihina,
ditindas, dan dilenyapkan.
HAM, jika
ingin bermakna di Asia, tidak boleh berhenti pada lembaga atau wacana elite. Ia
harus menjadi bagian dari kesadaran kolektif, menjadi semangat dalam perjuangan
rakyat biasa yang menuntut keadilan, kesetaraan, dan pengakuan. Dalam
pengertian ini, hak asasi bukanlah milik budaya mana pun, melainkan milik kita
bersama sebagai manusia. Maka tugas kita bukan sekadar membahasnya, tetapi
mewujudkannya, di jalan, di ruang publik, di tubuh hukum, dan di hati nurani
kita sendiri.
0 Komentar