Di tengah derasnya arus informasi dan teori-teori global yang datang dari ruang-ruang universitas dan lembaga riset internasional, ada suara-suara yang terus bergema dari pinggiran, dari tanah-tanah yang tak tercatat dalam peta kekuasaan pengetahuan modern. Suara-suara itu tidak lahir dari ruang kuliah bergelar marmer atau dari jurnal bereputasi, tapi dari ladang, hutan, kampung, dan tubuh-tubuh yang telah lama diasumsikan tak tahu apa-apa. Mereka bukan sekadar ingin bicara; mereka ingin diakui sebagai pusat dari cara lain dalam memahami dunia.
Selama
berabad-abad, pengetahuan dianggap sah hanya jika lahir dari tempat-tempat
tertentu: Eropa, Amerika Utara, kota-kota besar. Ilmu menjadi milik mereka yang
berbicara dalam bahasa akademik, dalam logika formal, dan dalam tubuh yang
terlihat “berpendidikan”. Di luar itu, pengetahuan sering direduksi menjadi
kepercayaan, mitos, atau bahkan takhayul. Tanpa sadar, kita diajari bahwa hanya
sebagian manusia yang “boleh berpikir” dan sisanya hanya boleh “diteliti”.
Namun, di
balik semua itu, ada tubuh-tubuh yang tak pernah berhenti berpikir. Seorang ibu
tani yang tahu kapan waktu menanam berdasarkan arah angin dan bunyi serangga.
Seorang tetua adat yang membaca gejala cuaca dari perubahan perilaku binatang.
Seorang perempuan muda yang menolak sistem pendidikan formal karena ia tahu
bahwa tubuhnya sedang dijinakkan oleh standar yang bukan miliknya. Mereka
berpikir. Mereka mencipta, tapi tak disebut “ilmu”.
Sementara
itu, negara dan korporasi terus membangun sistem untuk mengatur kehidupan:
siapa yang sehat, siapa yang boleh sekolah, siapa yang punya akses terhadap
pangan, siapa yang dianggap berguna. Tubuh manusia dipetakan, diukur,
dikontrol, semua atas nama kemajuan. Inilah wajah kekuasaan yang tidak lagi
mengatur lewat senjata, tapi lewat data dan kebijakan. Dalam sistem ini, hidup
bukan untuk dijalani, tapi untuk dikelola.
Tapi di
banyak tempat, muncul gelombang baru. Bukan gelombang protes besar-besaran,
tapi gerakan kecil yang membongkar ulang apa itu belajar, siapa itu guru, dan
dari mana ilmu itu datang. Di banyak komunitas, orang-orang mulai berbicara
dari tubuh mereka sendiri: dari luka kolonial, dari pengalaman tak diakui, dari
kisah yang tidak ditulis dalam buku sejarah. Mereka tidak menunggu izin dari
institusi untuk mulai berpikir. Mereka cukup mendengar tanah, mengingat
leluhur, dan mendefinisikan hidup di luar standar resmi.
Gerakan
ini bukan sekadar ingin menyuarakan keluh kesah. Mereka sedang membangun rumah
ilmu yang baru. Bukan untuk meniru rumah lama yang telah lama mengabaikan
mereka, tapi untuk menata cara hidup yang berakar pada relasi, bukan dominasi.
Dalam rumah ini, logika tak harus linier, ilmu tak harus dipatenkan, dan
berpikir bukan monopoli gelar atau jabatan.
Pengetahuan
yang lahir dari tubuh-tubuh yang disingkirkan bukan hanya alternatif; ia adalah
cara lain melihat dunia secara utuh. Ketika kita hanya melihat dari satu
tempat, kita buta terhadap dunia yang sebenarnya jauh lebih luas. Maka,
menggeser pusat pengetahuan bukan soal mode atau gaya baru dalam akademik. Ia
adalah soal keadilan, keadilan epistemik yang mengakui bahwa manusia berpikir
tidak hanya dari kepala, tapi dari tanah yang diinjak, dari luka yang
diwariskan, dan dari ritme kehidupan yang tak selalu bisa dijelaskan dengan
rumus.
Hari ini,
tantangannya bukan lagi sekadar membuka ruang untuk mendengar, tapi untuk
mengakui bahwa pusat dunia tidak pernah tunggal. Ia jamak, berlapis, dan
bergerak. Dan jika kita mau jujur, mungkin justru dari luar rumah pengetahuan
lama-lah, kita bisa mulai membangun cara hidup yang lebih utuh. Di sana, pada tubuh-tubuh yang dianggap diam, sesungguhnya dunia sedang dicipta ulang.
0 Komentar