Apa yang kita sebut “ilmu pengetahuan” sering kali diasumsikan netral, universal, dan objektif. Ia seolah-olah bicara dari tempat tanpa posisi, dari “titik nol” yang mengamati dunia sebagaimana adanya. Namun, dari banyak pengalaman manusia di luar Eropa, ilmu semacam ini justru terasa sebagai alat penghakiman dan pengucilan. Ia menyebut yang lain sebagai “tidak cukup rasional”, “tidak berkembang”, “subjektif”, atau bahkan “tidak manusiawi”. Maka, sudah waktunya membayangkan bentuk ilmu lain, bukan yang memetakan dunia untuk ditundukkan, tetapi yang lahir dari luka-luka sejarah, dari tubuh yang ditatap dengan curiga, dari pengalaman yang selama ini dianggap bukan sumber pengetahuan.
Sylvia Wynter membayangkan ilmu semacam itu sebagai scientia,
bukan science dalam artian Galilean atau Newtonian, melainkan scientia
dalam makna Renaisans yang hidup, merangkul kompleksitas keberadaan manusia,
dan terbuka pada pengalaman sebagai sumber sah pengetahuan. Bukan scientia
yang bertanya, “Apa yang benar menurut sistem?”, melainkan “Apa yang terjadi
pada tubuhku saat dunia menatapku sebagai yang bukan manusia?”
Di sinilah pentingnya prinsip sosiogenik yang diajukan oleh
Frantz Fanon. Ia menyadari bahwa luka kolonial bukan hanya luka fisik atau
politik, tetapi luka eksistensial: merasa dilihat sebagai sesuatu yang bukan
manusia. Seorang anak kecil kulit hitam yang berjalan di trotoar, lalu
mendengar komentar rasis dari orang asing, tiba-tiba menyadari keberadaannya
sebagai “yang dilihat”, bukan sebagai subjek yang melihat. Ia menjadi
tubuh yang dihakimi. Dari pengalaman itu, lahirlah kesadaran baru, kesadaran
akan keberadaan diri yang ditentukan oleh struktur sosial yang memisahkan,
mengklasifikasi, dan menundukkan.
Ilmu pengetahuan modern, khususnya dalam bentuknya yang
ilmiah-biologis, tak mampu membaca luka seperti itu. Neurobiologi mungkin bisa
memetakan bagian otak yang aktif saat seseorang marah, takut, atau merasa tidak
diterima, tetapi ia tidak akan pernah bisa mengerti mengapa rasa takut itu
muncul dari sejarah panjang kolonialisme, atau bagaimana rasa malu muncul dari
sistem pendidikan yang membuat orang malu terhadap bahasanya sendiri. Di
sinilah sains berhenti, dan scientia dekolonial mulai berbicara.
Scientia
ini tidak mencari kemajuan dalam pengertian teknologis atau ekonomi. Ia tidak
menjanjikan efisiensi, inovasi, atau pertumbuhan. Yang ia cari adalah pembebasan,
yakni kemampuan untuk melihat diri sendiri tidak lagi dari kacamata penjajah,
melainkan dari keberanian untuk menyatakan: “Saya manusia karena saya
mengalami, karena saya terluka, dan karena saya merawat luka itu menjadi
pengetahuan.”
Ilmu seperti ini tidak akan mendapat hibah riset besar. Ia
tidak akan dicetak oleh penerbit universitas terkemuka atau dinilai layak masuk
jurnal bereputasi, tetapi itulah kekuatannya. Ia tidak bergantung pada
institusi yang selama ini membakukan pengetahuan dalam bahasa kolonialitas. Ia
tumbuh dari bawah, dari akar tubuh yang ditolak, dari suara yang dibungkam,
dari bahasa yang dianggap tidak ilmiah.
Menjadi manusia dalam kerangka ini bukanlah menjadi seperti
“mereka”, bukan menjadi rasional ala Kant, progresif ala Comte, atau ilmiah ala
Newton. Menjadi manusia berarti berani berpikir dari luka sendiri, menolak
untuk tunduk pada standar yang tak pernah kita setujui, dan menciptakan ruang
untuk berpikir dari tubuh, dari tempat, dari sejarah yang tak ingin dilupakan.
Ilmu yang membebaskan tidak memisahkan jiwa dan tubuh, atau pikiran dan sejarah. Ia tahu bahwa semua itu menyatu dalam satu keberadaan yang hibrid: biologis sekaligus kultural, personal sekaligus politis. Dan mungkin dari situ, kita bisa memulai ulang: membangun dunia dengan ilmu yang tidak mendefinisikan siapa yang berhak menjadi manusia, tetapi mendengarkan, merawat, dan menyembuhkan mereka yang pernah disebut “bukan manusia”.
0 Komentar