Hak asasi manusia kerap hadir dalam pidato-pidato pejabat, dokumen-dokumen hukum, dan konferensi-konferensi global sebagai sesuatu yang sudah mapan, yaitu nilai-nilai universal yang wajib dijunjung oleh semua bangsa tanpa kecuali. Ia seolah-olah hadir sebagai kebenaran yang telah selesai, siap pakai, dan dapat diimpor ke mana pun, tanpa memperhatikan tanah tempat ia dipijakkan. Namun, justru dalam klaim kesempurnaannya itulah, hak asasi sering kehilangan nyawanya sebagai bahasa perjuangan.
Hak asasi
manusia, pada dasarnya, bukanlah produk jadi yang lahir dari laboratorium moral
Barat. Ia adalah hasil dari perjuangan-perjuangan konkret, dari para buruh,
perempuan, orang-orang terjajah, minoritas seksual, dan kelompok tertindas
lainnya. Bahasa hak muncul ketika tak ada lagi saluran untuk bersuara. Ia bukan
hadiah dari kekuasaan, melainkan jeritan dari bawah. Maka, ketika hak asasi
dikemas sebagai doktrin universal yang dibawa oleh kekuatan-kekuatan global, ia
sering berbalik arah, bukan lagi alat pembebasan, melainkan instrumen
penaklukan.
Dua
ekstrem sering mewarnai perdebatan soal hak asasi. Di satu sisi, ada mereka
yang meyakini bahwa nilai-nilai HAM bersifat absolut dan harus diterapkan
secara seragam di seluruh dunia. Di sisi lain, muncul pandangan bahwa HAM
hanyalah produk budaya Barat, dan sehingga tidaklah relevan bagi masyarakat
dengan sistem nilai yang berbeda. Walakin, kedua posisi ini, meski tampak
berlawanan, sebenarnya menyempitkan makna hak asasi itu sendiri.
Maka dari itu,
perlu dibayangkan kembali hak asasi manusia bukan sebagai sistem nilai yang
sudah selesai, melainkan sebagai proyek politik yang terbuka, yang terus
dikembangkan melalui klaim-klaim baru dan perlawanan-perlawanan baru. “Universalitas”
dalam konteks ini bukanlah kebenaran metafisik, melainkan ruang negosiasi dan
solidaritas. Ia bukan titik akhir, tetapi medan pertempuran.
Lebih
lanjut, bahasa hak asasi harus kembali menjadi bahasa perlawanan, alih-alih
bahasa kekuasaan. Ia bukan milik negara-negara besar, bukan monopoli organisasi
internasional, bukan alat untuk melegitimasi intervensi militer. Ia adalah
milik mereka yang berani berkata “aku juga manusia” dalam sistem yang
terus-menerus menganggap mereka bukan manusia sepenuhnya.
Pada titik
ini, kita berbicara hak asasi pada asas radikalnya. Sehingga, menghidupkan
kembali radikalisme hak asasi berarti berani mengganggu kenyamanan system, yang
artinya memberi ruang bagi klaim-klaim yang selama ini dianggap tak pantas: hak
atas keberagaman gender dan seksualitas, hak atas tanah dan spiritualitas
komunitas adat, hak untuk menolak pembangunan yang menghancurkan. Ini berarti
menyadari bahwa tidak semua perjuangan akan diterima oleh logika hukum
internasional, dan tidak semua penderitaan bisa ditampung oleh kerangka hukum
yang ada.
Justru
karena itulah, hak asasi manusia masih penting, ukan karena ia sudah sempurna, melainkan
karena ia bisa terus diperjuangkan, direbut, dan ditafsirkan ulang. Ia bisa
menjadi bahasa untuk mengguncang tatanan global yang timpang, untuk menyuarakan
luka-luka yang tak terdengar, untuk membuka masa depan yang lebih adil dan
setara.
Di tengah
dunia yang terus mencoba menertibkan hak dalam standar, prosedur, dan
sertifikasi, mungkin inilah saatnya untuk kembali mengingat: hak asasi manusia
bukanlah kesepakatan elite, melainkan nyala kecil yang muncul dari pengalaman
tertindas, dan mungkin, dalam nyala kecil itulah, dunia bisa kembali menyala
sepenuhnya.
0 Komentar