Apa jadinya jika konsep tentang “manusia” yang kita anut hari ini ternyata tidaklah universal dan absolut, tetapi hasil dari proses sejarah panjang yang dipenuhi pengucilan, klasifikasi, dan penindasan? Jika ada satu pertanyaan mendasar yang dibawa oleh Sylvia Wynter, maka itu adalah: siapa yang digolongkan sebagai manusia, dan siapa yang tidak?
Dalam
bagian kedua dari tulisannya, Wynter memulai dengan menggugat mitos bahwa
sistem sosial dan ekonomi saat ini adalah hasil dari “alamiah”-nya perkembangan
manusia. Ia menunjukkan bahwa masyarakat modern bukanlah refleksi netral dari
kodrat manusia, melainkan sebuah konstruksi historis yang auto-instituting,
membentuk dan meneguhkan dirinya sendiri melalui narasi dominan, sistem
pengetahuan, dan institusi global.
Sejarah
mendefinisikan kembali manusia dalam berbagai “genre”. Pada abad pertengahan,
manusia didefinisikan sebagai homo religious, makhluk spiritual dalam
relasi vertikal dengan Tuhan. Namun, seiring masuknya Renaissance, Revolusi
Ilmiah, dan Pencerahan, citra tersebut digantikan oleh figur baru: Man-as-natural-being,
yakni manusia sebagai makhluk rasional dan biologis. Manusia bukan lagi dilihat
dari kemampuannya untuk taat kepada Tuhan, tetapi dari kapasitasnya untuk
berpikir, memproduksi, menguasai alam, dan mengatur sistem sosial. Inilah
lahirnya manusia modern: kulit putih, Eropa, rasional, laki-laki, borjuis, yang
dengan cepat dijadikan genre dominan dan disebarluaskan sebagai patokan
universal.
Dengan
kata lain, transisi tersebut tidak serta-merta menghapus kekuasaan hierarkis.
Sebaliknya, dominasi spiritual digantikan oleh dominasi ilmiah dan biologis.
Ilmu evolusi, melalui seleksi alam, digunakan untuk merasionalisasi ketimpangan
sosial. Artinya, jika satu kelompok unggul, maka itu karena mereka “lebih maju
secara biologis”. Wynter menyebut ini sebagai bentuk baru dari sistem
klasifikasi manusia yang melegitimasi kolonialisme, perbudakan, dan rasisme
dalam bahasa “sains”. Ini bukan sekadar pengganti mitos lama, melainkan mitos
baru yang jauh lebih licik, sebab ia menyamar sebagai kebenaran objektif.
Inilah
yang kemudian menjadi krisis zaman kita: crisis of the human as a genre.
Jika sistem sosial kita dibangun di atas pengertian eksklusif tentang siapa
yang manusia, maka seluruh lembaga (dari pendidikan hingga HAM) akan
mereproduksi eksklusi yang sama. Dan karena genre ini diklaim sebagai universal,
siapa pun yang berada di luar patokan ini akan diposisikan sebagai “tidak cukup
manusia”. Mereka hanya bisa selamat jika meniru, menyesuaikan diri, dan
membungkam bagian-bagian diri yang tidak sesuai dengan citra “Man”.
Mereka ditarik dan dipaksa untuk terus mengejar standar yang mustahil,
sementara martabat dan nilai mereka dibatalkan.
Wynter
menawarkan cara lain untuk membongkar sistem ini: dengan kembali ke sosiogeni (sociogeny).
Dalam pendekatan dominan, manusia dipahami secara ontogenik, yakni
sebagai makhluk yang dibentuk oleh biologi dan genetikanya. Akan tetapi, Wynter
menandaskan bahwa menjadi manusia bukanlah soal DNA, tetapi soal relasi sosial
dan narasi historis. Sosiogeni mengakui bahwa pengalaman, simbol, bahasa, dan
luka kolonial membentuk eksistensi seseorang secara mendalam. Artinya,
sosiogeni menggeser pusat definisi dari otak dan gen ke masyarakat, sejarah,
dan sistem makna. Ini adalah titik revolusioner. Sebab dengan begitu, manusia
tak lagi dipahami dalam satu bentuk tunggal, melainkan sebagai makhluk yang
plural secara kodrati.
Menjadi
manusia berarti menjadi bagian dari kisah dan perjuangan kolektif, bukan
sekadar memiliki tubuh yang sesuai dengan norma ilmiah atau ekonomi Barat.
Dengan sociogeni, kita membuka jalan bagi dekonstruksi total terhadap
kolonialitas ontologis, yakni kekuasaan yang tak hanya menguasai tanah dan
tubuh, melainkan utamanya makna dan eksistensi.
Namun,
perubahan ini menuntut lebih dari sekadar pengakuan. Ia membutuhkan perombakan
total terhadap sistem pengetahuan itu sendiri. Sains modern selama ini tampil
sebagai satu-satunya jalan kebenaran: obyektif, universal, dan netral. Lalu
siapa yang menentukan standar itu? Siapa yang mengendalikan bahasa, kategori,
dan institusi ilmiah? Wynter menyebut dominasi ini sebagai zero-point
epistemology: klaim kebenaran yang menghapus posisionalitas, seolah-olah “Man”
berasal dari tempat netral di luar sejarah.
Sebagai
respons, Wynter mengusulkan new science of the word, ilmu baru yang
mengakui semua bentuk ekspresi manusia sebagai sahih. Ini bukan sekadar tentang
mengganti teori lama dengan teori baru, melainkan menciptakan sistem
pengetahuan yang mampu mendengar suara dari yang terpinggirkan seperti dari
perempuan kulit hitam, masyarakat adat, queer, orang miskin, dan semua
yang selama ini dibungkam oleh “objektivitas” modern. Ini adalah sains yang
tidak netral, melainkan berpihak; sains yang bukan untuk mengeksploitasi, tetapi
untuk membebaskan.
Pentingnya
proyek ini tidak bisa dilebih-lebihkan. Kita hidup dalam dunia yang dibentuk
oleh warisan kolonialitas pengetahuan. Bahkan ketika penjajahan formal telah
berakhir, sistem klasifikasi dan eksklusi tetap hidup dalam kurikulum,
teknologi, dan narasi global. Maka, jalan keluar bukan hanya menuntut masuk ke
dalam sistem itu, tetapi menciptakan dunia baru yang tidak hanya lebih adil, melainkan
lebih manusiawi dalam pengertian yang luas dan tidak hegemonik.
Dengan
seluruh bobot historis dan kekuatan konseptualnya, Wynter menyerukan revolusi
yang bukan hanya politis, melainkan justru ontologis. Ia mengajak kita untuk melampaui
“Man”, dan membangun the Human, bukan sebagai konsep abstrak yang
memaksakan keseragaman, tetapi sebagai rumah terbuka bagi keragaman pengalaman,
luka, dan harapan yang menjadikan kita manusia.
0 Komentar