Dalam bagian keempat dari tulisannya yang monumental, Sylvia Wynter menggugat secara sistematis proyek modernitas Barat yang telah menjadikan satu jenis manusia sebagai representasi tunggal kemanusiaan. Esai ini berusaha mendeskripsikan pemikiran kritis tersebut dengan fokus pada bagaimana “Man” direproduksi secara hegemonik dan bagaimana jalan keluar dekolonial perlu dirumuskan.
Wynter
memulai dengan membedah konsep representasi eksesif terhadap Man. Dalam
hal ini, Man bukan sekadar manusia sebagai spesies biologis, tetapi
genre historis yang dikonstruksi secara epistemik. Figur “Man”
direpresentasikan sebagai laki-laki kulit putih, Eropa, rasional, sekuler, dan
ekonomis, sebuah model yang tidak mencerminkan keragaman eksistensi manusia, tetapi
justru mendikte apa yang layak disebut manusia. Masalahnya bukan hanya
representasi tunggal ini, tetapi bagaimana ia menyamar sebagai universalitas.
Wynter
juga menyingkap bagaimana narasi memainkan peran mendasar dalam pembentukan
struktur sosial dan epistemik ini. Konsep-konsep seperti pembangunan, kemajuan,
atau modernitas adalah fiksi sosial yang diproduksi dan direproduksi untuk
mendukung dominasi satu bentuk manusia. Narasi ini tidak bekerja secara
eksplisit dengan kekerasan, tetapi dengan kekuatan simbolik: ia mendefinisikan
apa yang masuk akal, apa yang ilmiah, apa yang benar, dan apa yang di luar
nalar.
Melalui
analisis genealogi, Wynter menunjukkan bahwa akar dari figur ini bisa
ditelusuri dari perubahan besar pada abad ke-15 dan ke-16 ketika teologi
digantikan oleh sains sebagai otoritas pengetahuan. Jika dalam teologi manusia
didefinisikan lewat relasinya dengan Tuhan, maka dalam sains manusia
didefinisikan melalui hukum alam, kalkulasi, dan rasionalitas. Namun, peralihan
ini tidak menghapus struktur eksklusi, justru menyempurnakannya. Ketimpangan
rasial, kelas, dan gender tetap dipertahankan, tapi kini dibungkus dengan
istilah netral seperti genetika, IQ, atau indeks pembangunan.
Hal ini
juga tampak dalam bagaimana ras secara resmi dihapus sebagai kategori biologis,
tetapi efek rasisnya tetap beroperasi dalam bentuk-bentuk baru. Misalnya, kini
seseorang dinilai bukan dari warna kulit, tetapi dari daya saing ekonomi,
produktivitas kerja, dan kesesuaian dengan norma-norma pasar global. Wynter
menyebut ini sebagai bentuk lanjutan dari over-representasi dalam wajah
neoliberal.
Selanjutnya,
Wynter juga menyasar proyek-proyek inklusi semu seperti multikulturalisme atau
wacana developmentalisme yang tetap beroperasi dalam kerangka Man.
Mereka membuka ruang hanya sejauh subjek-subjek yang dimasukkan bersedia
mengadopsi nilai-nilai dominan. Meskipun tampak progresif, proyek-proyek ini
tidak mendekonstruksi asumsi dasar tentang manusia, dan karenanya justru
melanggengkan kolonialitas.
Dalam
menghadapi struktur yang begitu mengakar, Wynter menyerukan perlunya perubahan
radikal dalam cara kita memahami manusia. Ia menolak solusi reformis yang hanya
memperluas definisi manusia untuk mencakup yang lain, dan justru mengusulkan
dekonstruksi terhadap sistem kategorisasi itu sendiri. Kita tidak cukup hanya
memperjuangkan pengakuan bagi kelompok-kelompok terpinggirkan dalam sistem yang
eksklusif, tapi perlu membongkar sistem itu dan menciptakan sistem yang baru.
Salah satu
tawaran utama Wynter adalah penggunaan prinsip sosiogenik. Ia mengusulkan bahwa
manusia tidak semata-mata ditentukan oleh biologinya, tetapi dibentuk secara
sosial dan historis oleh narasi, pengalaman, dan relasi kekuasaan. Maka, untuk
membangun ulang kemanusiaan, kita harus berangkat dari pengalaman-pengalaman
yang selama ini dikesampingkan—dari luka kolonial, dari kesadaran terbelah,
dari pinggiran sejarah.
Humanisme
baru yang diimpikan Wynter bukanlah humanisme Eropa yang universalistik dan
eksklusif, melainkan humanisme dekolonial, humanisme yang lahir dari pengakuan
bahwa ada banyak cara menjadi manusia, dan bahwa semua bentuk kehidupan layak
dihormati tanpa harus meniru model dominan.
Esai ini
menegaskan bahwa perjuangan dekolonial bukan sekadar memperjuangkan keadilan
distribusi, tetapi lebih mendalam: memperjuangkan hak untuk didefinisikan ulang
sebagai manusia. Di sinilah letak revolusi epistemik yang ditawarkan Wynter. Ia
mengajak kita tidak hanya menuntut keadilan, tapi membayangkan kembali fondasi
kemanusiaan itu sendiri.
Dengan
demikian, bagian keempat dari tulisan Wynter bukan hanya analisis kritis,
tetapi juga manifesto filosofis. Ia menawarkan arah baru bagi pemikiran dan
praktik sosial—sebuah lompatan dari dunia yang dikendalikan oleh satu genre
manusia menuju dunia yang memeluk keberagaman manusia dan cara hidupnya, bukan
sebagai penyimpangan, tapi sebagai sumber nilai dan kebijaksanaan.
0 Komentar