Ad Code

Responsive Advertisement

Menuju manusia setelah “Man”: membongkar over-representasi dan kolonialitas [bagian 1]

Selama berabad-abad, dunia modern telah hidup dalam bayang-bayang satu figur: Man, sosok universal yang menjadi patokan segala hal tentang menjadi manusia. Namun, siapa Man itu? Siapa yang menyebutnya universal, dan atas dasar apa? Dalam esai seminalnya, “Unsettling the Coloniality of Being/Power/Truth/Freedom”, Sylvia Wynter menyerukan pembongkaran mendalam terhadap proyek ini: bahwa apa yang kita anggap sebagai “manusia” dalam sistem dunia modern bukanlah gambaran sejati dari umat manusia secara keseluruhan, melainkan representasi parokial dari satu kelompok etnokultural yang telah dipaksakan sebagai norma global.


Wynter menyebut ini sebagai fenomena overrepresentation, yaitu ketika satu versi “manusia” (laki-laki kulit putih, rasional, sekuler, borjuis) ditetapkan bukan hanya sebagai standar ideal, melainkan sebagai satu-satunya bentuk yang sah dari eksistensi manusia. Semua yang tidak sesuai dengan model ini (yang berkulit gelap, miskin, religius, spiritual, non-liberal, perempuan) dianggap cacat, kurang, atau belum utuh untuk menjadi manusia. Mereka bukan bagian dari “Man” tetapi othered, menjadi bayang-bayang inferioritas yang dilekatkan pada label anthropos.

Kolonialisme tidak hanya mengambil tanah dan tenaga, ia juga merampas definisi tentang manusia. Kolonialisme menjadikan Man sebagai subjek epistemik: hanya ia yang layak mengetahui, berbicara, mengatur, dan menentukan siapa yang berhak hidup dan siapa yang bisa dikeluarkan dari sejarah. Di sinilah letak kekuatan “kolonialitas”, sebuah sistem yang terus bertahan bahkan setelah kolonialisme formal berakhir. Ia hadir dalam sistem pendidikan, media, filsafat, hukum internasional, dan sains. Ia menentukan siapa yang punya kredibilitas, siapa yang bisa dipercaya, dan siapa yang “perlu dikembangkan atau diperadabkan”.

Bersama para pemikir dekolonial lain seperti Aníbal Quijano dan Frantz Fanon, Wynter menunjukkan bahwa kolonialitas adalah bentuk paling canggih dari kekuasaan karena ia bekerja tidak hanya lewat hukum dan kekerasan, melainkan utamanya lewat ontologi dan epistemologi. Ia membentuk cara kita menjadi dan berpikir. Yang dipertaruhkan bukan sekadar kebijakan publik atau kebebasan politik, tetapi pertanyaan paling mendasar: siapa kita ini sebenarnya?

Di sinilah letak radikalitas gagasan Wynter. Ia tidak hanya mengkritik sistem yang ada, tetapi juga mengusulkan rekonstruksi makna kemanusiaan. Baginya, “menjadi manusia” tidak harus berarti menjadi seperti “Man” yang selama ini direpresentasikan dalam filsafat Barat. Kita harus delink, melepaskan diri dari sistem representasi yang menjadikan segelintir pengalaman sebagai tolok ukur universal. Kita harus membuka ruang bagi proyek towards the Human, sebuah proyek yang menghargai keberagaman bentuk hidup, narasi, dan nilai-nilai, yang tidak memaksakan satu cara menjadi dan berpikir atas yang lain.

Dalam proyek towards the Human, pengalaman-pengalaman yang selama ini didelegitimasi justru menjadi sumber bagi pemikiran baru. Perempuan kulit hitam, buruh migran, komunitas adat, queer, orang miskin kota, mereka semua bukan objek belas kasihan, bukan “yang tertinggal”, tetapi subjek epistemik dengan kapasitas mencipta, menafsir, dan melawan. Mereka memegang kunci untuk melahirkan bentuk pengetahuan yang lain, bentuk kemanusiaan yang belum terbayangkan.

Namun, perubahan ini tidak akan datang dari dalam sistem yang sudah ada. Universitas, lembaga donor, hukum internasional, semuanya telah dibentuk dalam logika Man. Tidak mungkin membebaskan manusia dengan menggunakan alat yang diciptakan untuk menguasainya, karena “the master’s tools will never dismantle the master’s house,” ucap Audre Lorde. Oleh karena itu, proyek ini bukan sekadar soal menulis teori atau mengubah kurikulum, tetapi soal menggoyang fondasi-fondasi yang dianggap tak tergoyahkan: siapa yang berhak berbicara, siapa yang diakui, siapa yang dilihat sebagai “manusia”.

Wynter mengajak kita untuk tidak sekadar menolak, tetapi juga membayangkan ulang. Ia mengajak kita keluar dari mimpi buruk modernitas yang menyamar sebagai kemajuan. Ia tidak menjanjikan peta jalan, tetapi membuka kemungkinan: bahwa dunia bisa berbeda, bahwa manusia bisa didefinisikan ulang bukan dari pusat kekuasaan, tetapi dari pinggiran yang selama ini dilupakan.

Dalam dunia yang terus mengulang luka yang sama—dari Palestina hingga Papua, dari penjara-penjara migran hingga penggusuran atas nama pembangunan—pesan ini lebih mendesak dari sebelumnya. Kita tidak bisa terus memperbaiki sistem yang dibangun di atas penyangkalan. Kita harus merombaknya dari akarnya. Karena pada akhirnya, perjuangan untuk menjadi manusia bukanlah tentang menjadi seperti “mereka”, melainkan tentang memulihkan kemungkinan bahwa kita semua manusia, meski bukan dalam bentuk yang sama. Dan itu, barangkali, adalah bentuk paling radikal dari “kebebasan”.

Posting Komentar

0 Komentar