Ad Code

Responsive Advertisement

Rasionalitas yang membunuh: menggugat “manusia” dalam bahasa sains dan warisan kolonial [bagian 3]

Di balik gemerlap kemajuan sains dan logika universalitas modern, tersembunyi luka yang dalam, luka ontologis yang menimpa mereka yang tak pernah diakui sebagai manusia sepenuhnya. Sylvia Wynter dalam bagian ketiga esai seminalnya menguliti konstruksi “manusia” modern bukan sebagai bentuk kodrati, tetapi sebagai genre historis yang eksklusif, hegemonik, dan penuh kekerasan epistemik. Ia menunjukkan bahwa krisis terbesar zaman kita bukan sekadar krisis ekonomi atau lingkungan, melainkan krisis definisi tentang siapa yang tergolong sebagai manusia dan siapa yang tidak.

Dengan telak, Wynter mengungkap bahwa figur “Negro”—yang dulu dimaknai dalam teologi sebagai sosok yang terkutuk dan berdosa—beralih dalam modernitas sekuler menjadi simbol dari yang irasional. Perubahan ini bukan progres, tetapi mutasi bentuk dominasi. Jika sebelumnya dosa dan jarak dari Tuhan dijadikan alasan pengucilan, kini sains modern, melalui evolusi dan klasifikasi biologis, menjadikan ketidaksanggupan berpikir sebagai dalih untuk menempatkan manusia Afrika dan pribumi sebagai “makhluk setengah jadi”, dekat dengan hewan, jauh dari logos.

Peralihan ini menandai transformasi mendalam dari teologi menuju sains. Sains di sini bukanlah netral. Ia membawa serta warisan kolonial dalam bentuk lain, dalam nama objektivitas, hukum alam, dan rasionalitas. Sains menjadi “teodisi baru” yang melegitimasi perbudakan, penjajahan, dan pemusnahan. Ilmu klasifikasi seperti yang dikembangkan oleh Linnaeus menempatkan ras kulit hitam sebagai makhluk yang digerakkan oleh hawa nafsu, jauh dari hukum dan akal. Ini bukan sekadar wacana, melainkan sistem pemaknaan yang disebarkan melalui institusi pendidikan, hukum, dan politik global.

Wynter menyebut perubahan ini sebagai bentuk degodding, yakni proses sekularisasi yang mencabut otoritas Tuhan dan menggantinya dengan otoritas “alam” dan “nalar”. Namun, dalam dua model ini, posisi mereka yang non-Eropa tetap sama: selalu di luar, selalu didefinisikan melalui kekurangan. Dengan demikian, modernitas tidak pernah benar-benar melepaskan diri dari teologi, melainkan ia hanya mengganti simbolnya, dari dosa menjadi irasionalitas, dari takdir spiritual menjadi determinisme biologis.

Apa yang dilakukan sains modern bukan hanya menjelaskan dunia, tetapi juga menetapkan siapa yang berhak bicara, siapa yang berhak hidup. Ia menciptakan descriptive statement of the human, pernyataan tunggal sebagai acuan tentang apa itu manusia, yang menegaskan bahwa hanya mereka yang rasional, putih, Eropa, dan produktif secara kapitalistik yang layak dianggap manusia sejati. Sementara yang lain—yang gelap, yang miskin, yang perempuan, yang aneh—diperlakukan sebagai bayang-bayang, cacat, atau bahkan ancaman.

Proses ini tidak berlangsung dalam ruang hampa. Wynter mengaitkan konstruksi ini dengan warisan kolonialisme Spanyol abad ke-15. Ketika kaum Yahudi dan muslim dipaksa berpindah agama, ketakutan akan “darah yang tidak murni” berkembang menjadi obsesif. Ketakutan akan keturunan conversos menjadi dasar pembentukan hukum-hukum yang mengawasi kesucian darah. Narasi ini berpindah dari agama ke biologi, dari teologi ke rasialisme. Wynter menyebut proses ini sebagai “transumsi”, pemindahan makna yang stabil dari satu bentuk simbolik ke bentuk lainnya.

Dengan demikian, pengusiran the other bukan hanya tindakan fisik atau politis, tetapi merupakan strategi epistemik, sebuah cara menciptakan sistem dunia yang bisa terus bekerja hanya jika ada yang di luar sistem itu. Sains, dengan segenap prestisenya, menyempurnakan proyek ini. Ia tidak lagi perlu memenjarakan tubuh secara harfiah, cukup dengan menetapkan bahwa tubuh tertentu tidak bisa berpikir secara rasional, dan karenanya tidak perlu diberi ruang dalam sejarah, dalam sistem hukum, serta dalam narasi hak.

Inilah logika “Man” yang dikritik habis oleh Wynter, bukan sebagai makhluk individual, tetapi sebagai genre, sebagai template hegemonik tentang siapa yang memiliki being, kekuasaan, kebenaran, dan kebebasan. Man adalah proyek global yang memaksakan diri melalui sistem klasifikasi, pendidikan, kebudayaan, dan bahkan HAM. Ia menempatkan dirinya sebagai puncak evolusi dan menghapus segala kemungkinan lain tentang cara menjadi manusia.

Namun, di tengah reruntuhan makna ini, Wynter tidak menyerah pada keputusasaan. Ia membuka pintu untuk membayangkan ulang bentuk kemanusiaan melalui apa yang ia sebut sebagai sociogenic principle. Prinsip ini menyatakan bahwa manusia tidak semata-mata dibentuk oleh biologi atau hukum alam, tetapi oleh sejarah sosial, pengalaman, narasi, dan luka-luka yang mereka warisi dan alami. Maka dari itu, membangun kemanusiaan baru berarti membangun sistem pengetahuan baru: ilmu yang tidak mengecualikan, sains yang berpihak, dan rasionalitas yang manusiawi.

Wynter mengajak kita untuk menggulingkan zero-point epistemology, klaim kebenaran yang seolah-olah universal dan tak tersituasikan, padahal sangat terlokalisasi dalam sejarah Barat. Ia mendorong lahirnya new science of the word, sebuah ilmu yang mengakui suara-suara dari pinggiran, dari tubuh-tubuh yang dijadikan ladang eksperimen, dari bahasa-bahasa yang ditekan dan dihapus. Ilmu ini tidak lagi menempatkan satu jenis manusia sebagai pusat, tetapi menjadikan keragaman manusia sebagai dasar berfilsafat dan bertindak.

Akhirnya, bagian ketiga ini adalah seruan untuk melampaui manusia sebagai mitos kolonial. Untuk menyusun kemanusiaan yang tidak berdiri di atas pengucilan, melainkan pada pengakuan dan relasi. Dunia yang tidak hanya mengizinkan eksistensi, tetapi juga merayakan kemungkinan-kemungkinan menjadi manusia yang belum sempat tumbuh karena sebelumnya selalu ditekan. 

Posting Komentar

0 Komentar