Ad Code

Responsive Advertisement

Ketidaksetaraan dan Krisis Rasionalitas Ekologis

Kita sering berpikir bahwa krisis ekologis disebabkan oleh kebodohan kolektif atau kurangnya kesadaran manusia terhadap alam. Padahal, akar masalahnya bukanlah ketidaktahuan semata, melainkan ketidaksetaraan. Dunia yang tidak setara membuat sebagian orang bisa hidup nyaman sembari mengalihkan kerusakan lingkungan kepada mereka yang tak punya pilihan. Dengan demikian, ketidaksetaraan menjadi penyangga utama irasionalitas ekologis.


Konsep kuncinya adalah keterpencilan (remoteness). Keterpencilan bukan sekadar jarak geografis, melainkan cara sosiopolitik di mana kelompok berkuasa menjauh dari akibat ekologis dari tindakannya. Ada tiga bentuk keterpencilan: konsekuensial, spasial, dan epistemik.

Pertama, keterpencilan konsekuensial berarti kemampuan untuk menyalurkan dampak negatif ke pihak lain. Misalnya, sebuah pabrik besar di pinggir kota membuang limbah ke sungai yang mengalir melewati kampung nelayan. Pabrik tetap untung, tetapi ikan mati, air berbau, dan anak-anak kampung jatuh sakit.

Kedua, keterpencilan spasial terjadi ketika orang kaya bisa membeli “jarak aman” dari bencana. Saat udara di kota besar penuh polusi, mereka pindah ke perumahan pegunungan yang sejuk. Ketika sampah menumpuk, mereka membayar sistem pengelolaan yang efisien, padahal sampah itu akhirnya dikirim ke TPA di daerah miskin.

Ketiga, keterpencilan epistemik adalah ketika kita tidak tahu—atau tidak ingin tahu—tentang kerusakan yang kita ciptakan. Kita menikmati listrik, tetapi tidak memikirkan tambang batu bara yang menenggelamkan desa di Kalimantan. Kita membeli baju murah tanpa sadar bahwa air limbah pewarna tekstil mencemari sungai di Jawa Barat. Pengetahuan yang hilang ini bukan kebetulan, melainkan hasil dari sistem yang membuat penderitaan ekologis menjadi tak terlihat bagi mereka yang berkuasa.

Dari sinilah muncul argumen utama. Ketidaksetaraan sosial dan ekonomi adalah penyebab irasionalitas ekologis. Dalam masyarakat yang timpang, mereka yang paling berkuasa memiliki kemampuan terbesar untuk membuat diri mereka “terpencil”, menjauh dari konsekuensi ekologis. Sementara itu, yang paling miskin justru hidup paling dekat dengan racun, polusi, dan bencana. Fenomena ini dikenal sebagai environmental racism atau environmental classism. Di Jakarta, misalnya, banjir sering melanda kawasan padat penduduk yang miskin, bukan karena mereka “tidak peduli lingkungan”, tetapi karena drainase kota dirancang untuk melindungi kawasan bisnis. Yang menderita paling berat selalu yang paling tidak punya daya.

Lalu, apakah betul “kabut asap bersifat demokratis”? Nyatanya, kabut asap tidak menyebar secara adil. Di Sydney atau Jakarta, peta polusi udara sangat berkorelasi dengan tingkat pendapatan. Semakin miskin kawasan itu, semakin pekat udara yang mereka hirup. Bahkan bencana yang tampak universal, seperti gelombang panas ekstrem, lebih mematikan bagi mereka yang tak punya pendingin ruangan atau akses kesehatan.

Di sinilah demokrasi liberal gagal menjalankan logika ekologisnya sendiri. Secara teoretis, demokrasi seharusnya memastikan semua warga memiliki suara yang sama terhadap keputusan publik. Kendati begitu, dalam praktiknya, demokrasi liberal justru memperlakukan lingkungan sebagai “kepentingan kelompok” di antara sekian banyak kepentingan lain. Ketika kepentingan ekologis harus bersaing dengan keuntungan ekonomi jangka pendek, politik hampir selalu memihak pada yang bisa menghitung investasi, pembangunan, dan pertumbuhan. Udara bersih tidak punya pelobi.

Kegagalan lain adalah fokus demokrasi liberal pada kesetaraan formal—kesetaraan di depan hukum—tanpa menyentuh ketimpangan material. Akibatnya, proses politik yang tampak “setara” di permukaan justru melanggengkan ketidakadilan yang mendalam. Seolah semua warga memiliki kesempatan yang sama untuk bersuara, padahal sebagian warga hidup di bawah tumpukan limbah yang tidak pernah mereka pilih. Suara dari bawah, seperti protes warga terhadap pabrik yang mencemari sungai, sering tidak terdengar karena tidak memiliki daya pasar atau pengaruh elektoral.

Agar demokrasi menjadi rasional secara ekologis, perlunya pembalikan radikal seperti memberikan kekuasaan terbesar kepada mereka yang paling dekat dengan dampak kerusakan lingkungan. Mereka yang tidak bisa “memencilkan” diri—yang tubuhnya, tanahnya, dan airnya langsung terpapar racun—harus menjadi pusat pengambilan keputusan. Ini berarti mengubah demokrasi dari sekadar forum diskusi menjadi demokrasi mendalam, di mana keputusan politik diukur bukan dari prosedur yang rapi, tetapi dari hasil yang adil secara material.

Jika sebuah musyawarah yang katanya demokratis justru menghasilkan lebih banyak penderitaan bagi satu pihak, maka musyawarah itu sebetulnya cacat. Rasionalitas ekologis sejati tidak hanya menuntut partisipasi, tetapi juga redistribusi, perubahan nyata dalam siapa yang memikul beban dan siapa yang menikmati hasil.

Krisis ekologis bukan hanya soal karbon dan statistic. Ini adalah cermin dari ketimpangan sosial yang mendalam. Rasionalitas ekologis tidak bisa dicapai tanpa keadilan sosial, karena selama sebagian orang bisa membeli jarak dari bencana, seluruh sistem akan tetap irasional. Bumi hanya akan menjadi masuk akal kembali jika mereka yang paling menderita menjadi pusat pertimbangan moral dan politik kita. Dalam dunia yang saling terhubung, rasionalitas ekologis berarti belajar untuk tidak lagi hidup terlalu jauh dari akibat perbuatan kita sendiri.

Posting Komentar

0 Komentar