Kita sering berpikir bahwa krisis ekologis disebabkan oleh kebodohan kolektif atau kurangnya kesadaran manusia terhadap alam. Padahal, akar masalahnya bukanlah ketidaktahuan semata, melainkan ketidaksetaraan. Dunia yang tidak setara membuat sebagian orang bisa hidup nyaman sembari mengalihkan kerusakan lingkungan kepada mereka yang tak punya pilihan. Dengan demikian, ketidaksetaraan menjadi penyangga utama irasionalitas ekologis.
Pertama, keterpencilan konsekuensial
berarti kemampuan untuk menyalurkan dampak negatif ke pihak lain. Misalnya,
sebuah pabrik besar di pinggir kota membuang limbah ke sungai yang mengalir
melewati kampung nelayan. Pabrik tetap untung, tetapi ikan mati, air berbau,
dan anak-anak kampung jatuh sakit.
Kedua, keterpencilan spasial terjadi
ketika orang kaya bisa membeli “jarak aman” dari bencana. Saat udara di kota
besar penuh polusi, mereka pindah ke perumahan pegunungan yang sejuk. Ketika
sampah menumpuk, mereka membayar sistem pengelolaan yang efisien, padahal
sampah itu akhirnya dikirim ke TPA di daerah miskin.
Ketiga, keterpencilan epistemik adalah
ketika kita tidak tahu—atau tidak ingin tahu—tentang kerusakan yang kita
ciptakan. Kita menikmati listrik, tetapi tidak memikirkan tambang batu bara
yang menenggelamkan desa di Kalimantan. Kita membeli baju murah tanpa sadar
bahwa air limbah pewarna tekstil mencemari sungai di Jawa Barat. Pengetahuan
yang hilang ini bukan kebetulan, melainkan hasil dari sistem yang membuat
penderitaan ekologis menjadi tak terlihat bagi mereka yang berkuasa.
Dari
sinilah muncul argumen utama. Ketidaksetaraan sosial dan ekonomi adalah
penyebab irasionalitas ekologis. Dalam masyarakat yang timpang, mereka yang
paling berkuasa memiliki kemampuan terbesar untuk membuat diri mereka “terpencil”,
menjauh dari konsekuensi ekologis. Sementara itu, yang paling miskin justru
hidup paling dekat dengan racun, polusi, dan bencana. Fenomena ini dikenal
sebagai environmental racism atau environmental classism. Di
Jakarta, misalnya, banjir sering melanda kawasan padat penduduk yang miskin,
bukan karena mereka “tidak peduli lingkungan”, tetapi karena drainase kota
dirancang untuk melindungi kawasan bisnis. Yang menderita paling berat selalu
yang paling tidak punya daya.
Lalu,
apakah betul “kabut asap bersifat demokratis”? Nyatanya, kabut asap tidak
menyebar secara adil. Di Sydney atau Jakarta, peta polusi udara sangat
berkorelasi dengan tingkat pendapatan. Semakin miskin kawasan itu, semakin
pekat udara yang mereka hirup. Bahkan bencana yang tampak universal, seperti
gelombang panas ekstrem, lebih mematikan bagi mereka yang tak punya pendingin
ruangan atau akses kesehatan.
Di sinilah
demokrasi liberal gagal menjalankan logika ekologisnya sendiri. Secara teoretis,
demokrasi seharusnya memastikan semua warga memiliki suara yang sama terhadap
keputusan publik. Kendati begitu, dalam praktiknya, demokrasi liberal justru
memperlakukan lingkungan sebagai “kepentingan kelompok” di antara sekian banyak
kepentingan lain. Ketika kepentingan ekologis harus bersaing dengan keuntungan
ekonomi jangka pendek, politik hampir selalu memihak pada yang bisa menghitung
investasi, pembangunan, dan pertumbuhan. Udara bersih tidak punya pelobi.
Kegagalan
lain adalah fokus demokrasi liberal pada kesetaraan formal—kesetaraan di depan
hukum—tanpa menyentuh ketimpangan material. Akibatnya, proses politik yang
tampak “setara” di permukaan justru melanggengkan ketidakadilan yang mendalam.
Seolah semua warga memiliki kesempatan yang sama untuk bersuara, padahal
sebagian warga hidup di bawah tumpukan limbah yang tidak pernah mereka pilih.
Suara dari bawah, seperti protes warga terhadap pabrik yang mencemari sungai,
sering tidak terdengar karena tidak memiliki daya pasar atau pengaruh
elektoral.
Agar
demokrasi menjadi rasional secara ekologis, perlunya pembalikan radikal seperti
memberikan kekuasaan terbesar kepada mereka yang paling dekat dengan dampak
kerusakan lingkungan. Mereka yang tidak bisa “memencilkan” diri—yang tubuhnya,
tanahnya, dan airnya langsung terpapar racun—harus menjadi pusat pengambilan
keputusan. Ini berarti mengubah demokrasi dari sekadar forum diskusi menjadi demokrasi
mendalam, di mana keputusan politik diukur bukan dari prosedur yang rapi,
tetapi dari hasil yang adil secara material.
Jika
sebuah musyawarah yang katanya demokratis justru menghasilkan lebih banyak
penderitaan bagi satu pihak, maka musyawarah itu sebetulnya cacat. Rasionalitas
ekologis sejati tidak hanya menuntut partisipasi, tetapi juga redistribusi, perubahan
nyata dalam siapa yang memikul beban dan siapa yang menikmati hasil.
Krisis
ekologis bukan hanya soal karbon dan statistic. Ini adalah cermin dari
ketimpangan sosial yang mendalam. Rasionalitas ekologis tidak bisa dicapai
tanpa keadilan sosial, karena selama sebagian orang bisa membeli jarak dari
bencana, seluruh sistem akan tetap irasional. Bumi hanya akan menjadi masuk
akal kembali jika mereka yang paling menderita menjadi pusat pertimbangan moral
dan politik kita. Dalam dunia yang saling terhubung, rasionalitas ekologis
berarti belajar untuk tidak lagi hidup terlalu jauh dari akibat perbuatan kita
sendiri.

0 Komentar