Di tengah krisis ekologi yang kian nyata—dari udara yang kian sesak hingga sungai yang berubah menjadi limbah—kita sering mendengar seruan untuk “menghidupkan kembali spiritualitas”. Namun, Val Plumwood mengingatkan bahwa spiritualitas bukanlah jalan pintas menuju keselamatan ekologis. Tidak semua spiritualitas bersahabat dengan bumi. Beberapa justru meneguhkan jarak antara manusia dan alam, memelihara ilusi bahwa keselamatan sejati hanya bisa ditemukan di luar dunia material. Plumwood mengusulkan alternatif radikal, yaitu sebuah “spiritualitas materialis tempat” (a materialist spirituality of place), spiritualitas yang menolak dualisme roh dan materi, dan menanamkan makna pada kehidupan yang berakar di bumi.
Dalam
kehidupan modern, sisa pola pikir ini masih kuat. Kita menyebut alam “suci”
ketika berlibur ke gunung, tetapi merasa wajar menebang pohon di halaman rumah
untuk tempat parkir mobil. Kita berdoa di bangunan tinggi yang berpendingin
udara, tetapi lupa pada pekerja yang menggali batubara untuk menyalakan
listriknya. Spiritualitas yang menjauh dari tanah inilah yang membuat kita
kehilangan rasa hormat terhadap bumi tempat kita berpijak.
Lebih
lanjut, Plumwood menolak pandangan bahwa spiritualitas sejati harus melawan
materialisme. Sebaliknya, ia menganggap bahwa sikap yang menolak materi justru
melahirkan kerakusan terhadapnya. Konsumerisme modern bukanlah cinta terhadap
materi, tetapi ekspresi dari kebencian terhadapnya, yakni dengan jelas sebagai keinginan
untuk menaklukkan, menguasai, dan membuang. Dalam pandangan ini, dunia material
hanyalah sarana menuju kepuasan spiritual abstrak seperti status, kuasa, dan
prestise. Jadi, konsumerisme merupakan suatu bentuk spiritualitas juga.
Kita bisa
melihat hal ini dalam pola hidup kota besar. Orang membeli barang bukan karena
mereka menghargai materialitasnya, tetapi karena ingin menampilkan citra
tertentu. Ponsel diganti setiap tahun bukan karena rusak, tetapi karena model
lama dianggap “tidak bermakna”. Dalam logika semacam ini, benda kehilangan
kehadiran dan tempat kehilangan kesakralannya. Dunia menjadi gudang objek tanpa
jiwa.
Sebagai
jalan keluar, Plumwood mengusulkan spiritualitas materialis, yaitu bentuk
kesadaran yang melihat roh bukan sebagai entitas yang terpisah dari dunia,
melainkan sebagai cara dunia hidup dan berinteraksi. Spiritualitas ini tidak
berada di atas materi, tetapi menjalar di dalamnya. Roh tidak menunggu kita di
langit, melainkan berbicara lewat air yang mengalir, angin yang berhembus, dan
tanah yang menumbuhkan.
Dalam
spiritualitas seperti ini, manusia bukan pusat semesta, melainkan bagian dari
jejaring kehidupan yang saling tergantung. Plumwood mencontohkan praktik
masyarakat adat Amerika dan Australia, di mana hubungan spiritual dengan bumi
diwujudkan dalam frasa “all my relations”, pengakuan bahwa manusia,
hewan, tumbuhan, dan batu berbagi satu kehidupan yang sama. Dalam logika ini,
menjadi manusia baik bukan soal menaati hukum moral abstrak, melainkan merawat
hubungan timbal balik dengan semua makhluk.
Kematian
pun dilihat bukan sebagai pemisahan antara roh dan tubuh, tetapi sebagai
kembalinya diri ke jaringan kehidupan. Roh seseorang tidak pergi ke surga jauh
di atas langit, melainkan hidup dalam sungai, hujan, dan pepohonan yang tumbuh
dari tanah tempat ia dimakamkan. Kematian menjadi bentuk daur ulang kosmik yang
indah, sirkulasi keberlanjutan, bukan kehilangan.
Bagi
Plumwood, spiritualitas tempat adalah bentuk konkret dari spiritualitas
materialis. Ia menuntut keakraban yang mendalam dengan suatu tempat, mendengarkan
bahasa tanah, suara burung, perubahan musim, dan irama makhluk di sekitarnya.
Tempat bukan sekadar latar, tetapi mitra dialogis eksistensial.
Namun,
sistem ekonomi modern justru memutus hubungan ini. Kapitalisme menuntut kita
berpindah dari satu kota ke kota lain demi pekerjaan, menjual rumah masa kecil,
dan menukar pemandangan gunung dengan apartemen beton. Kita dipaksa
meninggalkan “cinta pertama” kita, tempat asal yang membentuk identitas dan
rasa syukur kita. Dalam dunia yang serba bergerak ini, spiritualitas tempat
menjadi semakin langka, tergantikan dengan pandangan “tanpa tempat” (standpoint
of no place) dari layar global yang datar dan seragam.
Kita bisa
melihat akibatnya, yakni orang lebih mengenal nama-nama mal ketimbang nama-nama
pepohonan di sekitar rumah, lebih hafal merek baju daripada nama sungai yang
mengalir di kotanya. Dalam kehilangan itu, kita juga kehilangan bagian dari
kemanusiaan kita sendiri.
Penting
dicatat bahwa terdapat pembedaan mencolok antara spiritualitas transenden dan
spiritualitas materialis tempat ala Plumwood. Spiritualitas transenden seperti
telepon genggam yang menghubungkan kita dengan sesuatu yang jauh di atas sana.
Kita sibuk memastikan sinyalnya kuat, tanpa peduli bahwa menara sinyal itu mengambil
alih lahan pepohonan di sekitar kita.
Sebaliknya,
spiritualitas tempat seperti akar pohon, bahwa energi dan maknanya datang dari
kedalaman tanah di bawahnya. Pohon tidak memiliki “roh” terpisah. Rohnya adalah
cara ia hidup, menyerap, memberi, dan berjejaring dengan kehidupan di
sekitarnya.
Menjadi spiritual dalam pengertian ini berarti menumbuhkan akar, bukan menegakkan antena. Roh tidak ditemukan dalam pelarian ke langit, tetapi dalam keberjejaringan kita di bumi. Dalam dunia yang semakin terputus dari tanahnya sendiri, tampak jelas bahwa spiritualitas yang paling revolusioner bukanlah yang membuat kita terbang, melainkan yang mengajarkan kita untuk berakar.

0 Komentar