Ad Code

Responsive Advertisement

Menuju Spiritualitas yang Berakar di Bumi: Dari Transendensi ke Keterikatan Tempat

Di tengah krisis ekologi yang kian nyata—dari udara yang kian sesak hingga sungai yang berubah menjadi limbah—kita sering mendengar seruan untuk “menghidupkan kembali spiritualitas”. Namun, Val Plumwood mengingatkan bahwa spiritualitas bukanlah jalan pintas menuju keselamatan ekologis. Tidak semua spiritualitas bersahabat dengan bumi. Beberapa justru meneguhkan jarak antara manusia dan alam, memelihara ilusi bahwa keselamatan sejati hanya bisa ditemukan di luar dunia material. Plumwood mengusulkan alternatif radikal, yaitu sebuah “spiritualitas materialis tempat” (a materialist spirituality of place), spiritualitas yang menolak dualisme roh dan materi, dan menanamkan makna pada kehidupan yang berakar di bumi.


Bagi Plumwood, istilah “spiritualitas” sering digunakan terlalu longgar, sehingga mencakup apa pun, dari meditasi hingga nasionalisme religius. Padahal, tidak semua spiritualitas membebaskan. Beberapa justru melanggengkan kekerasan terhadap tubuh, alam, dan perempuan. Ia memberi contoh spiritualitas transenden yang diwarisi dari tradisi agama Kristen dan rasionalisme Barat. Dalam tradisi ini, bumi dianggap sebagai tempat “jatuhnya” manusia, sesuatu yang harus ditinggalkan demi keselamatan di dunia non-material/spiritual. Tempat suci dipisahkan dari keseharian. Yang sakral hanya hadir di hari Minggu, sementara hari-hari lain dianggap profan dan duniawi.

Dalam kehidupan modern, sisa pola pikir ini masih kuat. Kita menyebut alam “suci” ketika berlibur ke gunung, tetapi merasa wajar menebang pohon di halaman rumah untuk tempat parkir mobil. Kita berdoa di bangunan tinggi yang berpendingin udara, tetapi lupa pada pekerja yang menggali batubara untuk menyalakan listriknya. Spiritualitas yang menjauh dari tanah inilah yang membuat kita kehilangan rasa hormat terhadap bumi tempat kita berpijak.

Lebih lanjut, Plumwood menolak pandangan bahwa spiritualitas sejati harus melawan materialisme. Sebaliknya, ia menganggap bahwa sikap yang menolak materi justru melahirkan kerakusan terhadapnya. Konsumerisme modern bukanlah cinta terhadap materi, tetapi ekspresi dari kebencian terhadapnya, yakni dengan jelas sebagai keinginan untuk menaklukkan, menguasai, dan membuang. Dalam pandangan ini, dunia material hanyalah sarana menuju kepuasan spiritual abstrak seperti status, kuasa, dan prestise. Jadi, konsumerisme merupakan suatu bentuk spiritualitas juga.

Kita bisa melihat hal ini dalam pola hidup kota besar. Orang membeli barang bukan karena mereka menghargai materialitasnya, tetapi karena ingin menampilkan citra tertentu. Ponsel diganti setiap tahun bukan karena rusak, tetapi karena model lama dianggap “tidak bermakna”. Dalam logika semacam ini, benda kehilangan kehadiran dan tempat kehilangan kesakralannya. Dunia menjadi gudang objek tanpa jiwa.

Sebagai jalan keluar, Plumwood mengusulkan spiritualitas materialis, yaitu bentuk kesadaran yang melihat roh bukan sebagai entitas yang terpisah dari dunia, melainkan sebagai cara dunia hidup dan berinteraksi. Spiritualitas ini tidak berada di atas materi, tetapi menjalar di dalamnya. Roh tidak menunggu kita di langit, melainkan berbicara lewat air yang mengalir, angin yang berhembus, dan tanah yang menumbuhkan.

Dalam spiritualitas seperti ini, manusia bukan pusat semesta, melainkan bagian dari jejaring kehidupan yang saling tergantung. Plumwood mencontohkan praktik masyarakat adat Amerika dan Australia, di mana hubungan spiritual dengan bumi diwujudkan dalam frasa “all my relations”, pengakuan bahwa manusia, hewan, tumbuhan, dan batu berbagi satu kehidupan yang sama. Dalam logika ini, menjadi manusia baik bukan soal menaati hukum moral abstrak, melainkan merawat hubungan timbal balik dengan semua makhluk.

Kematian pun dilihat bukan sebagai pemisahan antara roh dan tubuh, tetapi sebagai kembalinya diri ke jaringan kehidupan. Roh seseorang tidak pergi ke surga jauh di atas langit, melainkan hidup dalam sungai, hujan, dan pepohonan yang tumbuh dari tanah tempat ia dimakamkan. Kematian menjadi bentuk daur ulang kosmik yang indah, sirkulasi keberlanjutan, bukan kehilangan.

Bagi Plumwood, spiritualitas tempat adalah bentuk konkret dari spiritualitas materialis. Ia menuntut keakraban yang mendalam dengan suatu tempat, mendengarkan bahasa tanah, suara burung, perubahan musim, dan irama makhluk di sekitarnya. Tempat bukan sekadar latar, tetapi mitra dialogis eksistensial.

Namun, sistem ekonomi modern justru memutus hubungan ini. Kapitalisme menuntut kita berpindah dari satu kota ke kota lain demi pekerjaan, menjual rumah masa kecil, dan menukar pemandangan gunung dengan apartemen beton. Kita dipaksa meninggalkan “cinta pertama” kita, tempat asal yang membentuk identitas dan rasa syukur kita. Dalam dunia yang serba bergerak ini, spiritualitas tempat menjadi semakin langka, tergantikan dengan pandangan “tanpa tempat” (standpoint of no place) dari layar global yang datar dan seragam.

Kita bisa melihat akibatnya, yakni orang lebih mengenal nama-nama mal ketimbang nama-nama pepohonan di sekitar rumah, lebih hafal merek baju daripada nama sungai yang mengalir di kotanya. Dalam kehilangan itu, kita juga kehilangan bagian dari kemanusiaan kita sendiri.

Penting dicatat bahwa terdapat pembedaan mencolok antara spiritualitas transenden dan spiritualitas materialis tempat ala Plumwood. Spiritualitas transenden seperti telepon genggam yang menghubungkan kita dengan sesuatu yang jauh di atas sana. Kita sibuk memastikan sinyalnya kuat, tanpa peduli bahwa menara sinyal itu mengambil alih lahan pepohonan di sekitar kita.

Sebaliknya, spiritualitas tempat seperti akar pohon, bahwa energi dan maknanya datang dari kedalaman tanah di bawahnya. Pohon tidak memiliki “roh” terpisah. Rohnya adalah cara ia hidup, menyerap, memberi, dan berjejaring dengan kehidupan di sekitarnya.

Menjadi spiritual dalam pengertian ini berarti menumbuhkan akar, bukan menegakkan antena. Roh tidak ditemukan dalam pelarian ke langit, tetapi dalam keberjejaringan kita di bumi. Dalam dunia yang semakin terputus dari tanahnya sendiri, tampak jelas bahwa spiritualitas yang paling revolusioner bukanlah yang membuat kita terbang, melainkan yang mengajarkan kita untuk berakar.

Posting Komentar

0 Komentar