Ad Code

Responsive Advertisement

Re/turning: Returning dan Re-turning

Dalam keseharian, kita sering membayangkan pengetahuan dan waktu seperti garis lurus, yaitu ada awal, tengah, dan akhir. Kita juga terbiasa berpikir bahwa belajar berarti “kembali” (returning), kembali ke masa lalu, ke sumber, ke asal yang dianggap murni. Seorang filsuf bernama Karen Barad mengusulkan sesuatu yang lebih mendasar, bahwa kembali (returning) dan berputar kembali (re-turning) bukanlah hal yang sama. Melalui dua metafora visual, yakni refleksi dan difraksi, Barad memperlihatkan bahwa pengetahuan dan keberadaan kita di dunia tidak pernah statis, melainkan selalu bergerak, berkelindan, dan berubah bersama yang lain.

Bagi Barad, “returning” seperti cahaya yang memantul pada cermin. Ia bergerak lurus, mengenai permukaan, lalu kembali ke arah asalnya. Gerak ini bersifat linier, tertib, dan menegaskan jarak antara subjek dan objek. Dalam hal ini, si pengamat berdiri di luar, memantulkan kembali cahaya dari masa lalu atau dari dunia. Inilah cara berpikir modern yang sangat akrab bagi kita, sebuah cara yang melihat waktu sebagai garis lurus dan dunia sebagai sesuatu yang dapat diulang.

Dalam kerangka seperti itu, “kembali” berarti memulihkan, mengulang, atau mereproduksi keadaan semula. Maka dari itu, ketika seseorang berkata, “kita harus kembali ke akar budaya”, sesungguhnya ia sedang membayangkannya dalam logika refleksi, bahwa masa lalu dianggap sumber kebenaran, dan tugas manusia hanyalah menyalin kembali bayangannya.

Hal semacam itu dipertanyakan oleh Barad melalui konsep “re-turning”. Alih-alih memantulkan cahaya, “re-turning” adalah difraksi, ketika gelombang cahaya melewati celah dan menghasilkan pola interferensi yang kompleks. Cahaya tidak kembali ke asalnya, melainkan menyebar, berbelok, dan berinteraksi dengan ruang di sekitarnya.

Konsep difraksi ini menegaskan bahwa pengetahuan dan keberadaan tidak pernah netral atau berjarak, sebab keduanya selalu terbentuk dari relasi dan keterjeratan (entanglement). Dunia tidak menunggu untuk dipahami, karena kita sendiri adalah bagian dari dunia yang sedang saling memahami.

Dari sini Barad mengajukan gagasan radikal: bahwa setiap kali kita meneliti, mengingat, atau menafsirkan, kita tidak pernah sekadar “kembali”. Kita sedang re-turning, membelokkan arah pandang, menyeberangi batas waktu, dan menyentuh masa lalu yang telah berubah karena kita sekarang adalah bagian dari perubahan itu. Kita tidak memanggil masa lalu yang tetap, sebab kita berjumpa dengan versi baru darinya yang sudah mengalami difraksi bersama pengalaman kita.

Contoh paling sederhana dari ini bisa ditemukan dalam cara masyarakat kota mencoba “menghidupkan kembali” nilai gotong royong di era digital. Secara reflektif, mereka tampak ingin kembali ke masa lalu yang harmonis, tetapi yang sebenarnya terjadi adalah re-turning, yaitu nilai gotong royong dipraktikkan ulang dalam konteks baru, lewat platform daring, koperasi digital, atau komunitas berbagi hasil panen urban farming. Nilai itu bukan bayangan masa lalu yang dipantulkan, melainkan hasil dari difraksi antara tradisi dan teknologi. Masa lalu tidak hadir sebagai cermin. Masa lalu hadir laksana riak gelombang yang menyeberang ke masa kini.

Re-turning” membuka cara berpikir baru tentang waktu, pengetahuan, dan keberadaan. Ia menolak pandangan bahwa masa lalu dan masa kini terpisah oleh jarak yang kaku. Dalam dunia difraksi, segala sesuatu terhubung melalui relasi yang hidup dan terus-menerus. Kita tidak dapat berdiri di luar dunia untuk menilainya, sebab kita selalu sudah di dalam dunia itu, ikut membentuknya. Dengan demikian, pengetahuan bukan hasil refleksi atas realitas yang pasif, melainkan hasil partisipasi dalam realitas yang sedang berlangsung.

Dalam konteks ini, penelitian, ingatan, dan bahkan spiritualitas, dapat dipahami sebagai tindakan re-turning, sebuah perputarbalikan sadar terhadap dunia yang terus berdenyut dan berubah. Ia mengajarkan bahwa setiap kali kita mencoba memahami sesuatu, kita pun turut diubah olehnya. Dunia tidak hanya menjadi objek pengamatan, melainkan mitra dalam menenun makna. Karen Barad menulis, “We are of the world, not in the world.” Kita bukan pengunjung dunia belaka, kita adalah simpul di dalamnya, simpul yang bergetar bersama gelombang waktu, menyebar dan menyentuh hal-hal lain yang turut membuat kita ada.

Dengan demikian, re-turning bukanlah gerak nostalgia menuju masa lalu yang hilang. Ia merupakan tarian berkelanjutan bersama dunia yang terus menubuhkan dirinya. Dalam gerak difraksi ini, masa lalu, kini, dan masa depan tidak berjalan beriringan seperti garis, tetapi berkelindan seperti ombak yang saling berpantulan, membentuk pola tak terduga yang disebut kehidupan.

 

Posting Komentar

0 Komentar