Louis Pasteur merupakan saintis yang berjasa besar dalam sejarah ilmu pengetahuan modern. Dari laboratoriumnya di Prancis abad ke-19, ia mencanangkan teori kuman sebagai penyebab penyakit dan mengembangkan proses “pasteurisasi” yang mencegah pembusukan pada anggur. Ia dianggap pahlawan sains yang menyelamatkan umat manusia dari wabah dan penyakit menular.
Di tangan filsuf dan sosiolog ilmu Bruno Latour, kerja saintifik Pasteur dibaca
sebagai sesuatu yang memprovokasi pikiran kita untuk menggeser cara pandang
kita tentng sains.
Dalam
karyanya The Pasteurization of France, Latour tidak tertarik pada
biografi Pasteur atau keberhasilan saintifiknya, sebab Latour mendedahkan bagaimana
kebenaran ilmiah itu menjadi mungkin dan (si)apa saja yang membuatnya mungkin. Latour
mengajak kita melihat Pasteur bukan sebagai saintis jenius yang menemukan fakta
objektif yang tergeletak begitu saja di luar sana, melainkan sebagai seorang aktor
dalam jejaring relasi sosial, politik, dan material yang luas. Ia menyebut
pendekatan ini actor-network theory. Dalam kerangka berpikir Latour,
keberhasilan Pasteur bukanlah hasil dari akal individual, melainkan dari keterhubungan
banyak aktor, mulai dari para saintis lain, dokter, petani, pemerintah, hewan
ternak, bahkan hingga mikroba itu sendiri, dalam satu jaringan yang membuat temuan
itu “berfungsi” dan “dipercaya”. Dengan kata lain, Pasteur tidk hanya menemukan
mikroba. Sesungguhnya, ia “mencipta” dunia di mana mikroba bisa dipercaya
sebagai penyebab penyakit.
Ketika
Pasteur memperknalkan teori kuman (germ theory) pada abad ke-19, ide itu
sebenarnya belum langsung dipercaya. Banyak dokter dan saintis masih berpegang
pada teori lama tentang miasma, yakni bahwa penyakit disebabkan oleh udara
buruk atau uap busuk, bukan oleh makhluk mikroskopis. Artinya, untuk membuat
dunia memercayai “mikroba” sebagai penyebab penyakit, Pasteur tidaklah cukup
hanya menunjukkan hasil laboratorium. Ia harus membangun jejaring kepercayaan,
otoritas, dan praktik sosial yang membuat mikroba menjadi nyata secara sosial,
bukan hanya secara ilmiah.
Pasteur
juga melakukan eksperimen terbuka di hadapan petani dan publik luas, misalnya
uji coba vaksin anthrax pada tahun 1881. Ia menyuntikkan vaksin ke sejumlah
domba, sementara yang lain dibiarkan tanpa vaksin. Ketika wabah menyerang,
hanya domba yang divaksinasi yang dapat bertahan hidup. Pertunjukan ilmiah ini
menjadi drama publik yang memikat, sebab ini bukan sekadar eksperimen saintifik,
tetapi juga bentuk persuasi sosial. Melalui eksperimen/persuasi ini, teori
kuman menjadi “terlihat benar” bagi masyarakat, karena ia bekerja secara konkret
dan mujarab pada tataran praktis.
Dari titik
inilah Latour mengatakan bahwa Pasteur, sekali lagi, tidak hanya menemukan
mikroba, tetapi sebetulnya menciptakan dunia di mana mikroba (dapat) dipercaya.
Mikroba yang sebelumnya tak terlihat kini menjadi bagian dari politik, ekonomi,
dan etika baru. Orang-orang mulai—dipersuasi untuk—mencuci tangan, mendidihkan
susu, membangun laboratorium higienis, dan mematuhi regulasi kesehatan. Dunia
sosial berubah karena teori ilmiah itu diterima dan dijalankan.
Lebih jauh,
Latour menggeser cara pandang kita terhadap sains secara radikal. Ia menolak
mitos bahwa sains adalah proses objektif yang netral yang dikerjakan semata
oleh seorang—atau beberapa—saintis. Bertentangan dengan itu, ia melihat sains
sebagai praktik kolektif yang membangun realitas melalui relasi antara manusia
dan nonmanusia. Pasteur dan bakterinya bukan dua entitas yang terpisah, sebab
sebetulnya mereka saling menciptakan satu sama lain dalam jaringan tindakan, instrument
(aparatus), dan institusi. Menurut Latour, inilah bukti bahwa sains bukanlah
proses objektif dan netral yang berdiri di atas masyarakat (budaya). Dalam hal
ini, sains terjalin dengan relasi sosial dan politik.
Penting
dicatat bahwa Pasteur bekerja dengan para dokter dan saintis lain untuk
memperlihatkan bukti empiris tentang mikroba. Ia mengadakan demonstrasi publik,
presentasi di lembaga-lembaga ilmiah, dan melakukan eksperimen yang bisa
direplikasi oleh peneliti lain. Ini membentuk koalisi epistemikk, sebuah
jaringan orang-orang yang memercayai dan menyebarluaskan gagasan tersebut. Selain
itu, pemerintah Prancis melihat potensi politik dari teori ini. Dengan
mendukung penelitian Pasteur, negara bisa mengendalikan wabah, meningkatkan
kesehatan publik, dan memperkuat legitimasi kekuasaan ilmiah dalam membentuk
masyarakat modern. Di sinilah Latour melihat bahwa sains dan kekuasaan saling
memperkuat.
Sains
menjadi benar bukan hanya karena “sesuai fakta”, tetapi justru karena ia
berhasil membangun jaringan aktor yang saling memperkuat. Latour menyebut ini
sebagai bentuk “realitas yang dinegosiasikan”, bukan dalam arti fiktif
atau palsu, melainkan karena realitas ilmiah lahir dari kerja kolektif antara
manusia dan nonmanusia. Maka, fakta ilmiah adalah hasil dari koalisi
yang stabil. Begitu banyak entitas (dokumen, alat, institusi, hukum, wacana, hewan,
dan manusia) yang bekerja bersama untuk menjaga kebenaran itu tetap berdiri dan
ajek.
Secara
metodologis, gagasan Latour mengubah cara kita memahami penelitian ilmiah. Ia
menolak dikotomi antara “alam” dan “masyarakat/manusia” yang menjadi fondasi ontologis
modernitas. Menurutnya, setiap objek ilmiah adalah hibrida, yaitu kesilangsengkarutan
dan kecentang-perenangan yang mempertemukan dimensi sosial, politik, saintifik,
dan material sekaligus. Dengan demikian, kerangka Latourian ini membantu kita melacak
jaringan relasi yang memungkinkan sesuatu dianggap benar, alih-alih kebenaran “objektif”
ala sains. Maka dari itu, metode ilmiah, dapat dikatakan, menjadi semacam etnografi
realitas di mana seorang peneliti harus menelusuri bagaimana fakta-fakta
dibentuk, dinegosiasikan, dan diinstitusionalisasikan.
Dalam
pandangan modern, kebenaran dianggap bersumber dari fakta alamiah yang
ditemukan manusia melalui rasio. Namun, kita telah cermati bahwa kebenar
an
tidak pernah berdiri sendiri, sebab ia selalu merupakan hasil kerja kolektif
antara manusia dan nonmanusia secara simultan. Mikroskop, laboratorium,
kebijakan sanitasi, dan wacana kesehatan publik semuanya berperan dalam
“memproduksi” kebenaran tentang mikroba. Ini bukan relativisme, sama sekali
bukan. Ihwal ini merupakan bentuk kebenaran yang sifatnya performatif, menjadi
nyata karena diteguhkan, diperbuat, dan diperankan melalui jaringan praktik
yang stabil.
Secara
politis, pasteurisasi menunjukkan bagaimana sains dapat menjadi alat kekuasaan.
Ketika teori kuman diterima, masyarakat Prancis pun mengalami transformasi
besar, mulai dari praktik medis yang diatur ulang, cara beternak diubah,
kebersihan publik diawasi, hingga laboratorium yang menjadi pusat legitimasi
baru. Latour menegaskan bahwa sains bukan hanya menjelaskan dunia, tetapi juga
mengatur dan membentuknya. Sains memiliki daya untuk menata ulang tatanan
sosial, “menentukan” apa yang dianggap sehat, beradab, atau rasional. Dengan
begitu, pasteurisasi bukan hanya tentang menghangatkan susu, melainkan tentang mentransformasi
seluruh struktur sosial agar tunduk pada logika ilmiah baru.
Secara
ontologis, Latour menolak batas antara manusia dan nonmanusia, antara subjek
dan objek. Dalam pandangannya, mikroba memiliki agensi, berperan dalam
perubahan sejarah manusia. Dengan demikian, dunia bukan kumpulan benda pasif,
melainkan jaringan aktor yang saling memengaruhi. Secara aksiologis, Latour mengajarkan
kehati-hatian baru dalam memahami nilai dan tanggung jawab. Jika realitas
dibentukk bersama oleh manusia dan nonmanusia, maka etika kita juga harus
bersifat relasional dan serba mencakup. Kita tidak lagi bisa berpikir bahwa
hanya manusia yang memiliki agensi. Dalam dunia yang “dipasteurisasi” ini,
setiap tindakan, baik ilmiah, teknologis, maupun sosial, selalu melibatkan
jaringan yang luas, dan karenanya, selalu memikul konsekuensi bersama.
Bruno
Latour, melalui kisah Louis Pasteur, mengajak kita untuk meninjau ulang makna
kemajuan ilmiah. Ia memperlihatkan bahwa modernitas dibangun di atas ilusi
pemisahan antara alam dan masyarakat, padahal yang sesungguhnya terjadi adalah
keterjalinan yang kompleks antara keduanya. The Pasteurization of France
bukan sekadar sejarah sains, tetapi refleksi mendalam tentang bagaimana dunia
kita “dimasak” menjadi seperti sekarang, dan bagaimana, mungkin, kita bisa
belajar untuk “memasaknya” dengan cara yang lebih bijak.
Jadi, dalam kacamata Latour, Pasteur bukan sekadar penemu mikroba, melainkan arsitek dunia modern yang membentuk ulang cara manusia berelasi dengan yang tak terlihat. Pasteur mengubah mikroba menjadi entitas politis dan moral, sesuatu yang kemudian harus ditata, dikendalikan, dan diperhitungkan. Oleh sebab itu, sains bukan lagi tentang kebenaran yang ditemukan, tetapi tentang realitas yang digubah bersama-sama. Sekali lagi, sains merupakan puisi dunia bersama, alih-alih puisi saintis belaka.

0 Komentar