Di tengah krisis iklim global yang semakin mendesak, istilah greening dan greenwashing muncul sebagai dua wajah dari narasi lingkungan yang tampaknya serupa tetapi sebetulnya berbeda secara fundamental. Greening merujuk pada upaya tulus dan substansial untuk mengintegrasikan nilai-nilai ekologis dalam praktik hidup, institusi, dan kebijakan. Sementara itu, greenwashing adalah bentuk pencitraan, sebuah manipulasi simbolik yang menyamarkan praktik destruktif di balik retorika lingkungan. Ketegangan antara keduanya tidak hanya bersifat teknis atau politis, tetapi juga mengandung lapisan etis dan filosofis yang perlu dikaji secara kritis.
Secara
filosofis, greening berakar pada kesadaran bahwa manusia bukan pusat
dari semesta (anthropocentric worldview), melainkan bagian dari jaringan
kehidupan yang saling terkait. Dalam tradisi ekofilsafat, tokoh seperti Arne
Naess menyerukan “ekologi dalam” (deep ecology) yang menuntut perubahan
ontologis dan bukan sekadar teknologis. Di sini, greening bukan hanya
soal mengganti plastik dengan bambu atau menanam pohon setelah menebang hutan,
tetapi menyangkut transformasi relasi manusia dengan alam: dari dominasi
menjadi partisipasi, dari eksploitasi menjadi perawatan.
Greening sejati adalah proses panjang yang
membutuhkan keselarasan antara niat, tindakan, dan struktur. Dalam konteks
agama, misalnya, greening of religion berarti menggali ulang dimensi
kosmologis dan spiritual yang menekankan kesucian alam, serta menerjemahkannya
dalam aksi nyata, bukan hanya dokumen atau deklarasi.
Sebaliknya,
greenwashing adalah bentuk hipokrisi ekologis yang menjadikan lingkungan
sebagai komoditas citra. Korporasi, negara, bahkan institusi keagamaan kerap
melakukan greenwashing ketika mereka menggunakan simbol atau retorika
hijau untuk menarik simpati publik, sambil melanjutkan praktik-praktik
eksploitatif. Dalam hal ini, greenwashing adalah pencurian makna di mana
nilai-nilai keberlanjutan direduksi menjadi elemen pemasaran, sehingga kehilangan
kedalaman moral dan transformasi struktural.
Dari sudut
pandang filsafat moral, greenwashing dapat dibaca sebagai bentuk instrumentalisasi
etika. Jika greening bersandar pada ethics of responsibility, greenwashing
adalah bentuk pengkhianatan terhadap etika itu: tanggung jawab semu yang hanya
berlaku di permukaan. Lebih dari sekadar kebohongan strategis, greenwashing
mengacaukan orientasi moral publik. Ia menciptakan ilusi partisipasi, mematikan
kritik, dan menyerap energi perubahan ke dalam lingkaran konsumsi simbolik.
Seperti ditunjukkan Jean Baudrillard dalam kritiknya terhadap simulasi, greenwashing
adalah realitas palsu yang menutupi kehancuran yang sedang berlangsung. Dunia
tampak “hijau” tapi tak ada perubahan mendasar.
Ketegangan
antara greening dan greenwashing sering kali sulit dikenali
karena keduanya bermain di wilayah yang sama: simbolisme, bahasa, dan
representasi. Di sinilah dibutuhkan kewaspadaan hermeneutic, kemampuan untuk
membaca makna di balik citra, membedakan mana transformasi dan mana manipulasi.
Filsafat
hermeneutik, seperti dikembangkan oleh Paul Ricoeur, mengajarkan kita
pentingnya suspicion: bahwa makna tidak selalu langsung hadir di
permukaan, dan bahwa klaim etis harus diuji dalam praksis. Sebuah “gereja” yang
mendeklarasikan eco-theology tetapi menerima dana dari perusahaan
tambang, atau sebuah negara yang menanam jutaan pohon sambil memperluas konsesi
sawit, bukan sedang greening tapi sedang greenwashing agama dan
alam.
Ketegangan
antara greening dan greenwashing dalam gerakan agama lingkungan
bukan hanya soal niat, tapi juga soal struktur dan kekuasaan. Seperti
ditunjukkan Emma Tomalin (2024) dalam analisisnya tentang Hinduisme dan
nasionalisme Hindu, simbol-simbol religius yang dipakai dalam proyek lingkungan
bisa menjadi alat hegemonik yang menghapus keragaman ekologis yang sebenarnya
ada di masyarakat.
Alih-alih
memberdayakan komunitas, greenwashing religius dapat berfungsi sebagai
penguatan negara, pasar, dan elite agama. Komunitas seperti masyarakat adat
atau kelompok spiritual minoritas yang kerap menjalankan hidup ekologis secara
nyata malah tersingkir karena dianggap tidak sesuai dengan narasi dominan
tentang “agama hijau” yang berjalan seiring dengan proyeksi modern dan kemajuan.
Dalam
konteks ini, penting untuk menyadari bahwa agama tidak hadir sebagai entitas
tunggal atau esensial. Ia adalah medan kontestasi yang dinamis, tempat berbagai
aktor—progresif, konservatif, oportunis, atau revolusioner—berusaha
mengartikulasikan relasi antara iman dan alam sesuai dengan agenda
masing-masing.
Menghadapi
gelombang greenwashing yang semakin runyam, kita memerlukan etika
ekologis yang tidak hanya normatif, tetapi juga kritis dan struktural. Ini
berarti melihat greening bukan sebagai pilihan gaya hidup atau proyek
pencitraan, melainkan sebagai proyek keberlanjutan yang menyentuh sistem
ekonomi, struktur kekuasaan, dan spiritualitas manusia.
Greening sejati dalam agama berarti
keberanian untuk merefleksikan ulang relasi antara manusia, alam, dan Yang
Ilahi, bukan dalam bentuk slogan, tapi dalam praktik hidup, distribusi sumber
daya, dan solidaritas ekologis lintas komunitas.
Dengan
demikian, pertarungan antara greening dan greenwashing bukan
sekadar soal siapa yang lebih hijau, tetapi soal siapa yang benar-benar
bersedia berubah. Dalam dunia yang penuh sorotan dan simbol, keikhlasan
ekologis adalah bentuk radikal dari keberanian moral. Sebab, yang dibutuhkan
bumi hari ini bukan sekadar citra, melainkan komitmen yang berakar, sunyi, dan
tak selalu tampak. Kita harus berbicara dari dan kepada tubuh bumi, yang
konkret, rentan, dan penuh luka.
0 Komentar