Ad Code

Responsive Advertisement

Perempuan sebagai Agen Sejarah dalam Islam

Dalam narasi sejarah, perempuan sering kali tidak terlihat, terpinggirkan, atau bahkan sengaja dipinggirkan. Marginalisasi ini khususnya terlihat dalam historiografi tradisional, di mana pencapaian politik dan militer—bidang yang memang secara historis didominasi oleh laki-laki—ditonjolkan.

Namun, ketika kita mengubah sudut pandang untuk mempertimbangkan kontribusi sosial, agama, dan intelektual, kehadiran aktif perempuan dalam sejarah Islam tidak hanya terlihat, melainkan juga sangat tak terelakkan. Dari masa Nabi Muhammad hingga gerakan reformis kontemporer, perempuan muslim telah berperan krusial sebagai agen perubahan, pelestarian, perlawanan, dan pembaruan.

Periode awal Islam menunjukkan model yang kuat tentang agensi perempuan. Siti Khadijah, istri pertama Nabi Muhammad, adalah seorang pengusaha perempuan yang sukses dan orang pertama yang memeluk Islam. Kemandirian ekonomi dan dukungannya yang tak tergoyahkan memberikan stabilitas penting dalam tahap-tahap awal gerakan Islam.

Demikian pula, Aisyah binti Abi Bakr, salah satu istri Nabi, adalah seorang penyampai hadis dan termasuk seorang ahli hukum Islam. Keterlibatan politiknya juga penting, khususnya selama Perang Jamal, di mana ia memainkan peran utama, menunjukkan bahwa perempuan berpartisipasi tidak hanya dalam kehidupan intelektual dan spiritual, tetapi juga dalam membentuk barisan politik.

Peran perempuan sebagai agen religiositas dan intelektual berlanjut melampaui periode formatif Islam. Dalam masyarakat Islam abad pertengahan, perempuan berkontribusi pada pelestarian dan transmisi pengetahuan agama. Banyak cendekiawan perempuan, khususnya dalam ilmu hadis, tercatat dalam kamus biografi yang disusun oleh cendekiawan laki-laki. Contoh yang luar biasa adalah Fatimah al-Fihri, yang mendirikan masjid dan madrasah al-Qarawiyyin di Fez, Maroko, pada tahun 859 M, yang kemudian berkembang menjadi universitas, salah satu universitas tertua yang telah beroperasi di dunia.

Contoh-contoh tersebut mendobrak kesalahpahaman bahwa tradisi Islam secara inheren meminggirkan perempuan dan sebaliknya menggarisbawahi peran budaya, politik, dan kekuasaan dalam membentuk norma gender dari waktu ke waktu. Selain itu, perempuan juga berperan signifikan dalam tradisi tasawuf. Tasawuf bahkan menjadi disiplin subur untuk mengeksplorasi otoritas keagamaan dan agensi spiritual perempuan.

Sufi perempuan seperti Rabi‘ah al-‘Adawiyya, seorang pertapa abad ke-8 dari Basrah, menandaskan peran transformatif dalam pengembangan spiritualitas Islam. Penekanan pengalamannya pada cinta ilahi (mahabbah) sebagai tujuan akhir dari jalan spiritual memengaruhi banyak sufi laki-laki setelahnya.

Partisipasi perempuan dalam tarekat Sufi—sebagai murid dan bahkan pembimbing spiritual—telah didokumentasikan secara historis, terutama di wilayah-wilayah seperti Asia Selatan, Afrika Utara, dan Turki Utsmani. Dalam konteks Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Kartini (1879–1904) merupakan tokoh kunci dalam memahami perempuan sebagai agen sejarah dalam kerangka Islam.

Meskipun sering diingat melalui lensa nasionalis dan pendidikan, tulisan-tulisan Kartini mencerminkan keterlibatan yang sangat reflektif dengan Islam. Dalam surat-suratnya yang terkenal yang disusun dalam Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini mengkritik keterbatasan yang diberikan kepada perempuan Jawa, terutama dalam struktur kekuasaan kolonial dan patriarki lokal.

Pada intinya, Kartini tidak menolak Islam tetapi justru berusaha menyelaraskan ajaran etikanya dengan visi keadilan dan kesetaraan gender. Ia berkorespondensi dengan para cendekiawan muslim progresif pada masanya, seperti Kiai Sholeh Darat, dan menganjurkan penafsiran Islam yang memberdayakan alih-alih membatasi perempuan.

Warisan Kartini menggoyangkan biner antara tradisi dan modernitas, dan visinya sejalan dengan tren reformis yang lebih luas di dunia muslim yang berusaha memikirkan kembali peran perempuan dalam masyarakat. Desakannya pada pendidikan untuk anak perempuan, agensi moral, dan keterlibatan agama yang kritis menjadikannya sebagai pelopor feminis Islam kontemporer. Alih-alih menjadi subjek pasif dari sistem kolonial atau agama, Kartini mencontohkan bagaimana perempuan muslim secara aktif membentuk wacana tentang gender, etika, dan reformasi dari dalam tradisi agama dan budaya mereka.

Aktivisme akar rumput di kalangan perempuan muslim juga mencerminkan agensi mereka yang langgeng. Di seluruh dunia Islam, perempuan memimpin kampanye untuk pendidikan, reformasi hukum, dan keadilan lingkungan, yang sering kali berakar pada prinsip-prinsip etika Islam. Di Indonesia, pesantren yang dikelola oleh perempuan menawarkan pendidikan holistik sambil mengadvokasi kesetaraan gender dan kesadaran ekologis. Di tempat-tempat ini, para muslimah memanfaatkan teks-teks agama, kearifan lokal, dan kepemimpinan masyarakat untuk menegosiasikan iman dan modernitas dengan cara mereka sendiri.

Sebagai kesimpulan, perempuan dalam Islam tidak pernah sekadar menjadi penerima sejarah yang pasif. Mereka telah menjadi, dan terus menjadi, agen sejarah yang dinamis. Pengaruh mereka mencakup ranah spiritual, intelektual, politik, dan sosial.

Meskipun ketidaksetaraan struktural dan interpretasi patriarkis sering kali membatasi peran perempuan, bukti historis mengungkapkan pola agensi perempuan yang hadir secara historis. Tokoh-tokoh seperti Kartini mengingatkan kita bahwa reformasi Islam dan pemberdayaan perempuan tidak saling eksklusif, melainkan saling terkait erat. Mengklaim kembali warisan ini tidak hanya memperkaya pemahaman kita tentang sejarah Islam tetapi juga menegaskan kapasitas muslimah untuk membentuk masa depan komunitas dan tradisi keagamaan mereka. Selamat Hari Kartini!

Posting Komentar

0 Komentar