Ibn Khaldun (1332–1406) dikenal luas sebagai pelopor sosiologi, historiografi, ekonomi, dan filsafat sejarah. Pemikirannya yang paling terkenal termuat dalam karya monumentalnya, Muqaddimah (Pengantar). Muqaddimah karya yang diakui sebagai tonggak penting dalam kelahiran ilmu sosial, jauh sebelum munculnya para sosiolog modern seperti Auguste Comte, Émile Durkheim, atau Max Weber.
Salah satu
gagasan paling khas dan berpengaruh dari Ibn Khaldun adalah konsep ‘asabiyyah,
yaitu solidaritas kelompok atau kohesi sosial yang menjadi kekuatan penggerak
utama dalam pembentukan dan kejatuhan peradaban. Menurut Ibn Khaldun, ‘asabiyyah
muncul secara alami di kalangan masyarakat tribal atau badui (Arab: al-badu),
yang hidup dalam kondisi keras dan memerlukan solidaritas tinggi untuk
bertahan. Kelompok-kelompok ini kemudian mampu membentuk dinasti atau negara
ketika mereka berhasil mengorganisir diri dan menaklukkan masyarakat yang lebih
mapan tetapi telah kehilangan semangat kolektifnya.
Berbeda
dengan sosiolog modern yang banyak menggunakan pendekatan institusional,
struktural, atau ekonomi untuk menjelaskan dinamika sosial, Ibn Khaldun
menekankan pentingnya energi moral dan psikososial dalam menjaga
keberlangsungan suatu peradaban. ‘Asabiyyah yang kuat adalah kunci
stabilitas dan ekspansi politik. Kendati demikian, begitu kelompok tersebut
mencapai kemakmuran, muncul kecenderungan hedonisme, ketergantungan, dan
kemerosotan nilai-nilai solidaritas. Akhirnya, peradaban itu menjadi lemah dan
rentan ditaklukkan oleh kelompok baru yang memiliki ‘asabiyyah yang
lebih kuat. Ini adalah bentuk awal dari teori siklus peradaban, yang masih
relevan dalam studi sosiologi historis hingga kini.
Pemikiran
Ibn Khaldun juga menunjukkan pemahaman yang tajam mengenai hubungan antara
ekologi, ekonomi, dan struktur sosial. Ia menjelaskan bagaimana kondisi
geografis dan iklim memengaruhi karakter masyarakat—misalnya, bahwa masyarakat
padang pasir cenderung lebih berani, keras, dan bebas dibanding masyarakat
perkotaan yang hidup dalam kenyamanan dan ketergantungan. Dalam hal ini, Ibn
Khaldun memperkenalkan pendekatan yang dapat disebut sebagai ekososial, jauh
sebelum munculnya teori determinisme geografis atau pendekatan ekologi politik
dalam sosiologi kontemporer.
Lebih
lanjut, Ibn Khaldun menekankan pentingnya ekonomi dalam menopang peradaban,
meskipun tidak dalam pengertian kapitalistik modern. Ia membahas mekanisme
produksi, pembagian kerja, perdagangan, dan perpajakan secara rinci dan dengan
perhatian terhadap dampak sosialnya. Ia memperingatkan terhadap beban pajak
yang berlebihan karena dapat menghancurkan insentif produksi dan mengakibatkan
kehancuran negara. Gagasan ini sangat mendahului teori-teori ekonomi politik
modern.
Singkatnya,
Ibn Khaldun menghadirkan sintesis antara pengalaman empiris, analisis sosial,
dan visi spiritual, menjadikannya tokoh unik yang sulit dikategorikan dalam
kerangka sosiologi modern yang sekuler dan spesialis. Kekuatan gagasannya
terletak pada kemampuannya membaca dinamika kekuasaan, solidaritas, dan
perubahan sosial dalam perspektif jangka panjang yang melampaui era dan budaya.
Pemikirannya menjadi bukti bahwa tradisi intelektual Islam memiliki kontribusi signifikan
dalam pembentukan ilmu sosial.
0 Komentar