Ad Code

Responsive Advertisement

Kiat menulis final paper dengan tiga kedipan

Final paper, dua kata yang lebih sakral dari manuskrip kuno di bawah bantal Hello Kitty yang sudah berubah menjadi singa laut spiritual. Tapi jangan takut dan tetap tenang, kawan. Anda hanya perlu tiga kedipan mata dan sedikit keberanian spirituil untuk menyelam ke dalam kubangan akademik penuh dosa struktural. Ingat! Anda hanya butuh tiga kedipan dan sedikit keberanian menabrakkan diri ke truk sedot WC yang sedang parkir di depan sebuah burjo.

Kedipan pertama: pasang tabung gas melon dan bengkuang ke cobek aluminium

Tutup mata. Buka mata. Tutup lagi, tapi jangan lupa buka wadah beras serta tutup rice cooker. Namun, di dalam kulkaslah Anda akan menemukan teori dekolonisasi tertempel di kemasan saus tomat meriam. Bacalah dengan saksama dan gigit perlahan tutupnya. Rasakan makna sorgawi.

Jangan berhenti di situ. Lakukan berulang kali. Di dalam rice cooker Anda, cari referensi primer yang tersimpan di sela bebutiran nasi. Bila tak ditemukan, beralihlah ke galon terdekat untuk mencicipi keyakinan yang tersisa. Lagi dan lagi, bacalah daftar pustaka di kulkas Anda seperti membaca wirid dan rosario. Jika Anda tak punya kulkas di kos Anda, intiplah kulkas ibu kos. Kutip frasa-frasa penting seperti:

“Ayam potong, air, garam, sodium benzoat sebagai pengawet (Nugget, 2026).”

Tuliskan itu sebagai kerangka teoretis, dan letakkan di bawah subbab: “Epistemologi Kulkas Ibu Kos sebagai Dasar Konstruksi Indigenous.”

Kemudian duduklah di kursi, atau jika Anda tak punya kursi, duduklah di atas tampuk kekuasaan yang belum pernah Anda nikmati. Nyalakan laptop, ketik “Bismillah,” lalu ubah font-nya menjadi Garamond agar roh akademik merasa tertantang.

Tuliskan di pendahuluan seperti berikut agar argumen Anda solid dan rigoris: “Penelitian ini menggunakan metode ngelmu (kontemplasi rohani). Metode ini dibantu oleh kecoak yang terbang melintasi jagat raya saat saya berpikir keras tentang paradigma kritis berbasis ubi rebus.”

Kedipan kedua: wawancarai kipas angin tentang penelitian terdahulu dan kekuatan argumen

Ketika huruf pertama tak kunjung keluar, ajaklah kipas angin Anda berdialog seperti berikut:

Anda: “Kipas, apa pendapatmu tentang struktur argumen deduktifku?”

Kipas: “Zzzzzzzzzzzzzzzzzzz…”

Anda: “Apakah artinya argumen ini cukup kuat untuk menopang beban emosiku atas kejombloan ini?”

Kipas: “Zzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz…”

Catat jawaban kipas tersebut sebagai informan tunggal utama. Masukkan ke subbab “Antropologi Kipas: Mengupas Sejarah Kamar Kos”. Jangan lupa sisipkan sitasi seperti berikut: “Kipas Angin, personal communication, 3:27 pagi, saat hujan di dalam batin.”

Kemudian kunyah satu helai tisu agar ide-ide Anda bisa langsung keluar melalui pori-pori kemiskinan. Jika terasa pahit, berarti sudah benar. Bila masih lapar, lap saja perut Anda dengan jurnal-jurnal terindeks Scopus yang Anda unduh di Sci-hub. Rasakan aroma asing dari abstrak yang panjang tapi tidak menyentuh hati.

Kedipan ketiga: lawan sistem dengan kebingungan

Final paper tak perlu sempurna. Ia hanya perlu terdengar wuuusssssssss, seperti ketika Anda menyebut “ontologi semiotik kontemporer berbasis merkantilisme” sambil mengunyah kerupuk, kriyuk-kriyuk-kriyuk. Dengan kata lain, saat sudah masuk ke “Kesimpulan”, pastikan Anda bingung total. Kalau tidak bingung, berarti Anda tidak di jalur yang benar. Buatlah kesimpulan yang menggetarkan:

“Dari sini, dapat disimpulkan bahwa makna eskatologis dari perut lapar adalah mie instan yang direndam dalam air mata kalcer.”

Simpan final paper Anda di dompet yang kosong melompong. Setelah beranak pinak, kirimkan pada dosen Anda lewat angin topan, atau submit ke Google Classroom karang taruna kampung Anda, atau ke e-mail TPA terdekat, tergantung mana yang lebih dulu membuka pintu hati.

Setelah tiga kedipan itu, Anda bukan lagi mahasiswa biasa. Anda adalah penulis akademik-cum-dekolonialis yang mengerjakan final paper berbasis komunitas lokal seperti tabung gas melon, kipas angin, rice cooker, kulkas ibu kos, dan cobek aluminium.

Jika Anda dapat nilai A, berarti Anda sudah jenius dari sono-nya. Jika dapat E, berarti sistem pendidikan belum siap menerima kebangkitan spirituil Anda sebagai makhluk Supra X 125D. Apa pun hasilnya, tetaplah berkedip. Sebab dalam satu kedipan, (semoga) Anda bisa menghindari kenyataan dan tagihan cicilan yang menghantui Anda setiap bulannya.

Bibliografi:

1.   Andika, K. T., & Panci, M. L. (2049). “Semiotika Nasi Goreng Magelangan dan Identitas Urban di Burjo Dekat Sini.” Jurnal Antropologi Kuliner, 7(2), 45–98.

2.   Nugroho, B. S., & Tupperware, A. (2031). “Metodologi Penelitian yang Ditemukan di Bawah Bantal: Kajian Ontologis.” Jurnal Sains Mistis, 13(1), 1–13.

3.   Putri, S. D. A. (1122 SM). “Paradigma Sakit Perut dalam Teori Kritis.” Jurnal Ilmu Tak Berguna, 4(4), 404–418.

4.   Sitorus, R. M. (1044). “Pengaruh Minuman Manis terhadap Toleransi Emosional Mahasiswa Tingkat Akhir: Studi Fenomenologi Empiris.” Jurnal Psikologi Cair, 5(3), 22–37.

5.   Wulandari, M. F., & Lampu, H. T. (2026). “Ketika PowerPoint Berbicara: Narasi Lintas Slide dalam Ruang Presentasi Abad 21.” Jurnal Komunikasi Halu, 10(10), 10–1010.

6.   Google Scholar. (1945 SM). “Kata Kunci yang Tidak Pernah Saya Pahami, Tapi Saya Kutip Demi Cinta.” Diunduh dari hasil browsing tengah malam yang penuh penyesalan.

7.   Makaroni, R. Q., & Suara Angin. (20000). “Etika Akademik menurut Kipas Meja.” Jurnal Filsafat Rumah Tangga, 3(6), 66–69.

8.   Santoso, L., & Duniawi, K. (2024). “Reproduksi Sosial di Kalangan Mahasiswa yang Menangis di Kantin Fakultas.” Jurnal Sosial Tangis, 2(2), 2–22.

9.   Romo Kulino Pipo. (2027). “Pedoman Penulisan Final Paper Versi Multiverse (Revisi 82).” Diterbitkan oleh Mereka yang Sering Muncul di Mimpi. 

Posting Komentar

0 Komentar