Ad Code

Responsive Advertisement

Dekolonisasi bukan sekadar gaya bicara

Dalam dunia akademik dan aktivisme hari ini, istilah dekolonisasi semakin sering hadir dalam diskusi—di ruang kelas, seminar, hingga unggahan media sosial. Kita mendengar ajakan untuk "mendekolonisasi kurikulum", "mendekolonisasi pikiran", bahkan "mendekolonisasi diri". Namun, di tengah ramainya penggunaan istilah tersebut, ada pertanyaan yang mendesak untuk diajukan: apakah dekolonisasi masih mengacu pada sesuatu yang nyata, atau telah menjadi metafora nyaman yang dilepaskan dari tanggung jawab material dan politiknya?

Dekolonisasi sejatinya adalah sesuatu yang radikal, bukan dalam arti retoris, melainkan dalam arti harfiah: ia menuntut pencabutan akar kolonialisme dari fondasi kehidupan. Kolonialisme bukan sekadar kisah masa lalu yang tercatat dalam buku sejarah, melainkan sebuah struktur yang terus bekerja di masa kini. Ia hidup dalam bentuk kepemilikan tanah, sistem hukum negara-bangsa, dan tatanan ekonomi global yang membungkam kedaulatan masyarakat adat dan mempertahankan perampasan sebagai norma.


Dalam kerangka itu, dekolonisasi tidak bisa hanya dimaknai sebagai perluasan akses atau inklusi simbolik. Menyisipkan cerita rakyat dalam kurikulum, memakai batik dalam acara resmi, atau mengakui tanah adat dalam pembukaan konferensi hanyalah upaya kosmetik jika tidak disertai dengan tindakan pengembalian tanah dan kekuasaan kepada komunitas yang telah dirampas. Dekolonisasi bukan tentang merasa progresif atau sekadar berposisi moral yang baik. Ia adalah ajakan untuk melepas—hak istimewa, kekuasaan, bahkan kenyamanan.

Bahaya terbesar dari menjadikan dekolonisasi sebagai metafora adalah hilangnya tuntutan material dan politis yang melekat padanya. Ketika dekolonisasi direduksi menjadi jargon yang bisa dipakai oleh siapa saja, tanpa komitmen apa pun terhadap keadilan struktural, maka ia bukan lagi bahasa perjuangan, melainkan hiasan diskursif. Ia menjadi cara bagi individu atau institusi untuk tampil "sadar" sambil tetap mempertahankan status quo.

Lebih dari sekadar istilah, dekolonisasi menuntut kita menghadapi pertanyaan yang jauh lebih sulit dan menyakitkan: tanah siapa yang sedang kita tempati? Hukum siapa yang sedang kita jalankan? Suara siapa yang sedang kita diamkan? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan kutipan teoritis atau program institusional, melainkan dengan keberanian untuk bertindak secara material: mengembalikan tanah, mengakui yurisdiksi hukum adat, mendukung pemulihan kedaulatan yang nyata.

Dalam refleksi yang lebih dalam, kita menemukan bahwa dekolonisasi juga menantang asumsi dasar filsafat modern: relasi manusia dengan tanah, dengan alam, dengan komunitas. Modernitas menempatkan manusia sebagai penguasa atas bumi, pemilik atas ruang, dan pengatur atas waktu. Sebaliknya, dekolonisasi mengingatkan bahwa tanah bukan properti, melainkan relasi; bahwa hidup bukan soal penguasaan, melainkan keberlangsungan bersama. Inilah yang membuat dekolonisasi bertabrakan langsung dengan logika kapitalisme, liberalisme, dan individualisme.

Maka, mereka yang sungguh-sungguh ingin mengupayakan dekolonisasi harus siap kehilangan: kehilangan kenyamanan, kehilangan kontrol, bahkan kehilangan otoritas wacana. Solidaritas sejati dengan perjuangan dekolonial bukanlah tentang merasa bersalah atau sekadar menunjukkan simpati, tetapi tentang keterlibatan yang penuh risiko—mendengarkan tanpa menguasai, mendukung tanpa menggantikan, berdiri tanpa menuntut ruang utama.

Jika dekolonisasi ingin tetap bermakna, ia harus dikembalikan pada pengertiannya yang konkret, bukan dibiarkan larut dalam metafora yang menyelamatkan perasaan tetapi melumpuhkan tindakan. Ia bukan sekadar mode berpikir atau gaya estetika, tetapi proyek perlawanan yang melibatkan tanah, tubuh, dan hidup manusia. Dan dalam proyek itu, yang dibutuhkan bukan teori yang indah, melainkan keberanian untuk berkata: ini bukan milikku, dan harus dikembalikan.

Posting Komentar

0 Komentar