Ad Code

Responsive Advertisement

Memeriksa Mitos seputar Universal Declaration of Human Rights (UDHR)

Artikel ini merupakan upaya penting untuk membongkar mitos yang mengelilingi proses sejarah lahirnya Universal Declaration of Human Rights (UDHR), atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Dalam narasinya, Susan Waltz secara sistematis menunjukkan bagaimana banyak asumsi dominan—terutama yang menyebutkan bahwa hak asasi manusia (HAM) adalah proyek Barat dan hasil kerja kekuatan besar dunia—ternyata tidak akurat jika dilihat dari proses politik yang sebenarnya. Alih-alih meneguhkan narasi hegemonik, artikel ini membuka ruang baru untuk merekonstruksi asal-usul deklarasi ini sebagai hasil negosiasi multilateral dan kontribusi signifikan dari negara-negara kecil.

Waltz mengidentifikasi dan membongkar empat mitos besar. Pertama, bahwa UDHR muncul sebagai reaksi langsung terhadap Holocaust Nazi. Memang, Holocaust memberikan momentum politik dan moral yang kuat, namun ide HAM telah berakar sejak awal abad ke-20 dan dikembangkan oleh berbagai aktor non-negara. Kedua, bahwa kekuatan besar seperti AS, Inggris, dan Uni Soviet adalah penggagas utama HAM internasional. Faktanya, dukungan mereka bersifat ambigu dan kadang-kadang penuh penolakan. Banyak dari mereka hanya tertarik pada retorika HAM selama Perang Dunia II, dan bahkan kemudian berusaha membatasi pengembangannya agar tidak mengancam kepentingan domestik dan imperial mereka.

Mitos ketiga menyangkut gagasan bahwa UDHR ditulis oleh satu tokoh besar, sering kali disebut sebagai René Cassin. Artikel ini membuktikan bahwa Cassin memang memiliki peran signifikan, namun jauh dari satu-satunya penulis. Teks ini lahir melalui proses kolaboratif yang melibatkan banyak negara, pakar hukum, diplomat, dan lembaga non-pemerintah. Keempat, adanya asumsi bahwa AS adalah pendukung utama proyek HAM internasional. Waltz menunjukkan bahwa meskipun Eleanor Roosevelt berperan besar dalam proses perundingan awal, komitmen AS terhadap implementasi HAM internasional sangat terbatas. Tekanan domestik dari kelompok konservatif, rasisme sistemik, dan kekhawatiran akan kedaulatan nasional membuat AS justru menghindari ratifikasi banyak traktat HAM hingga akhir abad ke-20.

Artikel ini tidak hanya merevisi sejarah HAM, tetapi juga menantang cara kita memahami “keuniversalan” dari konsep hak asasi. Sejak lama, universalisme kerap diartikan sebagai penyebaran nilai-nilai Barat ke seluruh dunia, padahal proses pembentukan UDHR menunjukkan bahwa nilai-nilai itu justru diperjuangkan juga oleh negara-negara kecil dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Misalnya, perubahan frasa dari “all men” menjadi “all human beings” dalam teks deklarasi merupakan hasil dari intervensi delegasi perempuan dari India dan Republik Dominika yang menolak bias gender. Begitu pula dukungan atas hak sosial-ekonomi tidak hanya datang dari blok Soviet, tetapi juga dari banyak negara Selatan global yang menuntut dimasukkannya jaminan sosial, pangan, dan keadilan ekonomi.

Kisah yang diangkat Waltz menyoroti pentingnya melihat UDHR bukan sebagai dokumen warisan filsafat Eropa saja, tetapi sebagai dokumen politik yang dinegosiasikan secara global. Hal ini menimbulkan implikasi besar dalam perdebatan kontemporer mengenai relativisme budaya versus universalisme HAM. Jika UDHR memang produk konsensus luas dari berbagai tradisi politik dan budaya, maka resistensi terhadapnya atas dasar bahwa ia “Barat-sentris” perlu ditinjau ulang secara lebih hati-hati. Sebaliknya, dengan merekonstruksi sejarah ini, justru tampak bahwa negara-negara yang kini sering dituduh “relativistik” dalam HAM sebenarnya punya saham historis dalam penyusunan standar internasional tersebut.

Namun demikian, satu kritik yang dapat diajukan terhadap pendekatan Waltz adalah bahwa ia tetap bergerak dalam kerangka negara sebagai aktor utama. Meskipun ia menyoroti peran NGO dan tokoh individu, analisisnya tetap berpusat pada diplomasi negara dan negosiasi antar pemerintah. Dalam konteks postkolonial saat ini, akan sangat menarik jika wacana ini diperluas untuk mencakup gerakan sosial akar rumput, komunitas adat, dan tradisi non-negara yang turut membentuk praktik-praktik hak asasi di tingkat lokal.

Dengan membongkar mitos-mitos seputar asal-usul UDHR, artikel ini tidak hanya memperkaya pemahaman kita tentang sejarah HAM internasional, tetapi juga menawarkan basis yang lebih inklusif dan demokratis bagi pembelaan atas keuniversalan HAM. Sejarah yang lebih jujur dan plural ini membuka peluang untuk mengklaim UDHR sebagai milik bersama umat manusia, bukan sebagai instrumen hegemoni satu peradaban atas yang lain. Sebagaimana ditegaskan dalam kesimpulan Waltz, hanya dengan mengenali keragaman kontribusi dalam penyusunan deklarasi ini, kita bisa benar-benar menjadikannya sebagai “warisan universal.”

Posting Komentar

0 Komentar