Banyak dari kita tumbuh dengan keyakinan bahwa hak asasi manusia (HAM) adalah sesuatu yang universal: bahwa setiap manusia memilikinya hanya karena ia manusia. Tapi bagaimana jika sebenarnya pemahaman kita tentang HAM jauh lebih bervariasi daripada yang kita kira?
Marie-Bénédicte Dembour,
seorang ahli hukum dan antropologi, dalam artikelnya yang terkenal, What
Are Human Rights? Four Schools of Thought, menunjukkan bahwa cara
orang memahami HAM bisa sangat berbeda, tergantung dari lensa mana mereka
memandangnya. Ia membagi pemikiran tentang HAM ke dalam empat mazhab utama:
natural, deliberatif, protes, dan wacana.
Bayangkan
seorang aktivis HAM yang memperjuangkan hak-hak pengungsi di perbatasan. Jika
ia seorang natural
scholar, ia akan mengatakan bahwa para pengungsi itu berhak
mendapat perlindungan karena mereka adalah manusia. Titik. HAM, menurut
pandangan ini, adalah “diberikan oleh alam”, atau oleh Tuhan, akal budi, atau
semacam kebenaran universal. Ibarat hukum gravitasi, HAM dianggap selalu ada,
terlepas dari apakah pemerintah mengakuinya atau tidak.
Namun,
ada juga yang berpandangan lebih pragmatis, seperti deliberative
scholars. Bagi mereka, HAM adalah hasil kesepakatan sosial. HAM
tidak jatuh dari langit, tapi lahir dari proses dialog, debat, dan konsensus.
Misalnya, ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa warga berhak atas
perlindungan data pribadi, maka hak itu ada. Tapi jika masyarakat suatu negara
belum sepakat soal itu, maka belum tentu itu bisa disebut HAM di sana. Dalam
logika ini, HAM adalah “disepakati”, bukan “diberikan”.
Lalu
ada discourse
scholars yang paling skeptis. Mereka melihat HAM lebih sebagai
bahasa politik ketimbang kebenaran moral. Menurut mereka, pembicaraan soal HAM
sering digunakan untuk melegitimasi kekuasaan atau agenda tersembunyi. Sebagai
contoh, intervensi militer atas nama HAM bisa jadi hanya topeng bagi
kepentingan geopolitik. Jadi, HAM bukan sesuatu yang “ada”, tapi sesuatu yang “dibicarakan”,
bahkan kadang dimanipulasi.
Keempat cara pandang ini, meski berbeda, semuanya penting. Kita bisa percaya pada HAM, tapi juga harus sadar bahwa apa yang kita anggap sebagai “hak” bisa berasal dari sumber yang sangat berbeda: keyakinan moral, kesepakatan politik, perjuangan sosial, atau diskursus strategis. Menyadari keragaman pandangan ini tidak melemahkan gagasan HAM, justru memperkaya dan menajamkannya, terutama ketika kita mencoba menerapkannya dalam dunia nyata yang penuh konflik, perbedaan, dan perubahan.
0 Komentar