Bayangkan ini: sekelompok pemuda muslim duduk di sudut yang nyaman di sebuah kedai kopi minimalis. Alunan musik blues lembut menjadi latar belakang. Kopi hitam pekat siap dinikmati. Seseorang membuka laptopnya. Yang lain membuka terjemahan Al-Qur’an. Seseorang berbicara dengan mengutip al-Ghazali. Yang lain menanggapi dengan merujuk Rumi dan sedikit sentuhan budaya pop. Apakah ini Islam yang estetis? Sebuah pertunjukan yang dangkal? Ataukah ini sebuah konfigurasi tentang bagaimana mempelajari dan mengamalkan Islam saat ini?
Selamat
datang di fenomena ngaji yang sedang naik daun di kedai kopi, pertemuan
informal yang sering kali berpusat di perkotaan, tempat anak muda berdiskusi
tentang Islam, spiritualitas, filsafat, dan segala hal di antaranya. Bukan di
masjid, bukan di madrasah, melainkan di tempat yang lebih identik dengan kopi
hitam dan Wi-Fi.
Tren
ini mungkin mengejutkan. Lagipula, bukankah agama seharusnya khidmat, sakral,
dan sedikit berat? Tetapi bagaimana jika asumsi itu patut dipertanyakan?
Selama
beberapa generasi, pembelajaran Islam telah dikaitkan dengan gambaran-gambaran
tertentu: ustaz yang khidmat, pesantren yang tenang, dinding-dinding yang
dipenuhi kaligrafi, keheningan yang mendalam sebelum dan sesudah salat. Ada
keindahan dalam tradisi itu. Rasa hormat itu penting. Memang kita telah
menginternalisasi gagasan bahwa kesalehan harus selalu terlihat serius, yakni bahwa
menjadi “religious” berarti lebih banyak mengerutkan kening daripada tersenyum,
meninggalkan kegembiraan, menghindari ruang-ruang yang terasa kasual atau
kontemporer.
Namun,
jika kita menengok ke belakang, Nabi Muhammad dikenal suka tersenyum dan
bersenda gurau bersama para sahabatnya. Beliau bertemu orang-orang di mana pun
mereka berada. Masjid beliau bukanlah benteng formalitas melainkan ruang hidup
untuk percakapan, air mata, canda, debat, dan pembelajaran. Jadi, apakah kedai
kopi benar-benar tempat yang aneh untuk berbicara tentang Tuhan?
Kopi,
Budaya, dan Komunitas
Islam
dan kopi sebenarnya memiliki ikatan sejarah yang mendalam. Budaya kopi sendiri
berasal dari dunia muslim. Para sufi di Yaman menggunakannya untuk tetap
terjaga selama salat malam. Kedai kopi menjadi ruang bukan hanya untuk minum,
tetapi juga untuk berdiskusi tentang puisi, politik, dan Tuhan. Anak muda
Muslim masa kini sedang merebut kembali warisan itu, sadar atau tidak. Bagi
banyak orang, masjid bisa terasa mengintimidasi atau sarat muatan politik.
Sebaliknya, kedai kopi terasa aman, netral, dan terbuka: sebuah ruang di mana
pertanyaan tidak terasa seperti tantangan dan keraguan tidak dianggap sebagai
kelemahan.
Ketika
anak muda muslim berkumpul di ruang-ruang ini untuk ngaji—berefleksi, bertanya,
berbagi—mereka menciptakan tata bahasa pengalaman religious yang baru: lebih
santai, tetapi tidak kalah tulus.
Yang
sinis mungkin bertanya: bukankah ini hanya gaya hidup? Sebuah citra
spiritualitas yang dikurasi dan disaring melalui postingan Instagram dan
pencahayaan yang lembut? Ini pertanyaan yang wajar. Memang ada risiko mereduksi
agama menjadi sebuah suasana hati di mana rasa keimanan menggantikan
praktiknya, dan refleksi digantikan dengan kinerja. Namun, kita harus
berhati-hati agar tidak menganggap seluruh gaya baru ini dangkal hanya karena
terlihat berbeda.
Tidak
semua muslim muda menginginkan Islam yang ringkas dan instan. Banyak yang
sungguh-sungguh mencari kedalaman dengan pendalaman, tetapi dalam format dan
ruang yang selaras dengan kehidupan mereka. Kedai kopi menjadi ruang ketiga:
bukan rumah, bukan masjid, melainkan jalan tengah di mana mereka bisa menjadi muslim
dengan cara mereka sendiri. Ini bukan berarti mereka meninggalkan tradisi, melainkan
mereka menemukan cara baru untuk terhubung dengannya.
Islam
Tidak Melarang Kegembiraan
Ada
lapisan lain dalam soal ini. Ketakutan akan agama yang “tidak serius”
seringkali berasal dari ketidaknyamanan yang lebih mendalam terhadap
kebahagiaan dalam kehidupan spiritual. Seolah-olah terlalu banyak tersenyum,
atau menikmati sesuatu yang duniawi, entah bagaimana itu, mendiskualifikasi
seseorang dari ketaatan yang sejati.
Namun,
Islam tidak pernah meminta kita untuk memilih antara keindahan dan pengabdian,
antara tawa dan kepasrahan. Al-Qur’an berbicara tentang taman, sungai, cinta,
dan kenikmatan. Sunah mengajarkan kita bahwa bercanda tidak haram, dan
berkumpul dengan teman adalah ibadah jika dilakukan dengan niat baik. Dengan kata
lain, kegembiraan bukanlah ancaman bagi agama; kegembiraan adalah anugerah di
dalamnya.
Pada
akhirnya, pertanyaannya bukanlah apakah kedai kopi adalah masjid baru: bukan, dan
seharusnya tidak. Akan tetapi, kedai kopi dapat menjadi tempat pembaruan,
terutama bagi generasi muda yang sedang menegosiasikan kehidupan modern,
keyakinan, identitas, dan komunitas.
Kuncinya
bukanlah tempatnya, melainkan tujuannya. Jika sekelompok teman dapat berterus
terang tentang perjuangan mereka dalam beribadah sambil menyeruput secangkir
kopinya, atau menemukan kesembuhan dalam lingkaran di mana tidak ada yang
berpura-pura sempurna, maka sesuatu yang intim sedang terjadi. Dan jika,
melalui pertemuan santai beraroma kopi ini, seseorang menemukan kembali cinta
kepada Tuhan, maka ruang tersebut telah bergerak jauh lebih dari yang dapat
dilakukan oleh kebanyakan khotbah di mimbar.
Jadi,
apakah Islam harus selalu serius? Tidak, tetapi harus selalu tulus, termasuk
ketulusan mengenakan beragam busana. Terkadang keberislaman hadir dalam balutan
formalitas, dengan kerutan dahi yang dalam dan jubah panjang. Di lain waktu, ia
mengenakan sepatu kets dan menyeruput kopi. Kedua gaya tersebut bisa sama-sama
disebut berbakti. Keduanya bisa sama-sama tersesat. Yang penting adalah hati di
balik kebiasaan itu.
Pada akhirnya, yang ilahi tidak terbatas pada kubah dan mimbar. Acapkali Tuhan ditemukan di tempat-tempat tak terduga, dalam sebuah pertanyaan yang diajukan sambil menikmati wedang jahe, dalam tawa yang dibagikan ketika bercanda, di sebuah kedai kopi di mana tempat jiwa-jiwa berkumpul dan tengah mencari. Dan mungkin itu sudah cukup.
0 Komentar